Melawan Arus
Ole: 46 R
Di
tengah kerapuhanku, hukum Tuhan semakin jelas berkumandang “Ridlo Ibu Ridlo
Tuhan Murka Ibu Murka Tuhan”. Semakin mempersempit ruang gerak dan berfikir. Tapi aku tetap harus
memilih. Karena kalau tida, akan banyak kata yang akan menyalahkanku. Aku harus
memilih antara murka Tuhan dan cobaan.
Pilihan
ini memang sangat mudah bagi orang yang tidak pernah mau mengerti arti kata
indah dan sangat redup bagi orang yang sedang mencari sesungguhnya arti hidup.
“Sudahlah,
Nduk!” ummi sudah berdiri di sampingku, melawan arah hadapku yang sedang
mematung di bali jendela kamarku, memandangi pagi yang redup tanpa indahnya
senyum embun dan tanpa pesona sinar surya, karena mendung tengah membungkus
wajah langit. Aku tidak jauh beda dengan pagi ini, redup. Tanpa senyum menyungging dan tanpa aura.
Ummi
membalikkan badannya dan membelai lembut rambut panjangku.
“Umm
rasa keputusan ummi tidak ada yang perlu dirubah, karena menurut kami, pilihan
ummi yang lebih tepat menjadi imammu. Nasabnya jelas, lulusan timur tengah, dan
yang paling penting dia masih kerabat dekat kita, kamu dan dia satu buyut.
Dengan perjodohan ini jalinan silaturrahmi kita jadi semakin erat dan terpelihara
dengan baik. Keturunanmu juga, nasab dari embah buyutmu akan terus nyambung.”
Ummi memang tidak pernah kasar dalam berbicara. Namun cukup jelas dan lugas.
Dari
tadi aku bisa diam mendengarkan tutur lembut ummi, selembut benang ulat sutra
tapi sanagat tajam, setajam pisau daging yang sedang memotong kedua kaki dan
tanganku hingga membuatku cacat seumur hidup. Semula aku ingin membantah, tapi
itu tdak mungkin bisa merubah keputusan ummi ini dan yang akan aku dapatkan
hanyalah dosa.
Dalam
kebekuan aku coba angkat bicara.
“Ummi
sayang sama Nayla?” beliau hanya menjawabnya dengan tatapan yang sangat dalam
kepadaku kemudian mengecup keningku lalu memeluk erat tubuh kurusku. Sebenarnya
aku sudah tau jawabannya karena kasih sayang beliau sudah aku rasakan sejak aku
masih dalam rahimnya hingga sekarang. Tapi kenapa sekarang ummi sama tidak mau
mencoba untuk meengerti dan menerima
orang yang sudah jadi pilihan aku? Apakah karena dia berasal dari keluarga
biasa yang derajat sosialnya di bawah derajat keluarga kami, hanya lulusan
pesantren lokal dan tidak punya masa depan? Apakah ummi sudah menganggap
eluarganya keluarga hina dan menganggap keluarga kami sebagai kebanggaan? Atau, adakah nash Al-qur’an dan hadist yang secara khusus mengharamkan semua anggota keluarga kami
hidup bahagia dengan pilihaanya sendiri? Adakah jaminan dalam keluarga besar
kami? Bukankah keluarganya juga berhak? Tuhan, sungguh aku tidak akan saggup
bila harus hidup dengan orang yang sama sekali tidak punya tempat di hatiku dan
harus berpura-pura tersenyum setiap hari sedangkan hatiku meronta, Munajatku dalam pelukan ummi.
Ummi
pergi meninggalkanku yang sudah tidak tahan lagi menahan bendungan air mata.
Sedangakan aku masih betah menemani pagi. Aku ingin mengantarkannya ke pangkuan
seperempat awal siang, berharap setelahnya sinarakan datang menghancurakan kebekuan akalku,
mengarahkan aku ke jalan yang hati ingin.
Meskipun
awan sedang menyekat perataan cahaya mentari
Sehingga
bumi tanpak manyun
Tapi
di balik awan itu
Ia
masih beraktifitas seperti biasanya
Aku
yakin itu!
Sebenanya
aku masih males untuk dekat-dekat dengan ummi. Tapi biar bagaimanapun juga
beliau orang yang melahirkan aku ke dunia setelah sembilan bulan mengandung.
Aku juga masih ingin menjadi anak yang berbakti, kecuali soal pasngan hidup.
Meskipun dalam keadaan terpaksa aku tetap bantu-bantu ummi di dapur untuk
menyiapkan makan siang.
“oia,
ummi lupa tadi gak ngasih tau kamu bahwa akad nikah sekaligus walimatul
urusynya akan dilaksanakan awal bulan
depan. Tepatnya tanggal tujuh april.”
“Aku
beku terdiam di atas lincak dengan sebilah pisau dapur di tangan kanan dan
sesiung bawang putih di tangan kiri. Hatiku berkecamuk. Ya Allah, kuatkan
hambamu yang leemah ini. Jangan dosakan hamba bila pisau ini hamba
tanncapkan ke perut hamba. Atau hamba
iriskan paada nadi hamba. Dan jangan dosakan pula bila sampai ada
kata-kata kasar yang keluar dari mulut hamba untuk ummi. Atau hamba harus
menentang kehendak satu-satunya orang
tua hamba yang paling aku sayagi.
“Ummi,
apakah tidak bisa diundur sampai aku lulus sekolah?” kali ini aku masih dengan
suara datar dan pasrah.
“Tidak,
ini sudah menjadi keputsan besama.”
“kenapa
Nayla tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini?” manyun.
“Ummi
rasa ummi saja sudah cukup.” Jawabnya Ketus.
“Kalau
aku tidak bisa?” Tekanan darahku sudah mulai meninggi.
“Kamu
harus bisa. Demi ummi!” suaranya memelan.
“Aku
tetap tiak bisa. Lebih baik aku kehilangan yang kupunya dari pada aku harus
kehilangan waktuku untuk belajar, termasuk keluarga ini. Dan saya rasa syarat
yang aku ajukan tidak begitu berat, satu tahun bukan waktu yang lama untuk
ditunggu demi kebaikan bersama.”
***
Dengan
lisan aku memang masih bisa menentang ummi. Dan itu sudah aku akui sebelumnya
bahwa itu dosa. Tapi daya seakan tak tersisa sama sekali untuk menentang hari ini, hari pernikahanku dengan
seorang kiai muda tanpan lulusan timur tengah. Banyak orang di sekelilingku
yang menganggap aku bodoh karena aku
lebih memilih calon dari kalangan rakyat jelata. Namun semua anggapan itu telah
aku jawab dengan satu kalimat saja, “hanya dengannya hdupku lebih punya arti.”
Pulangnya
mentari keperaduannya semakin membuaat hatiku risau dan galau untuk memasuki
malam yang semua orang nanti-nantikan, tapi neraka bagiku; malam pertama.
Sebenarnya aku menantikannya tapi bukan dengan lelaki ini. Ya Tuhan, rencana
apalagi yang telah engkau programkan untuk hamba malam ini. Akankah berpihak
pada hamba, atau pada keluarga hamba? Hamba pasrah! Apapun yang akan terjadi
malam ini, hamba akan selalu mencoba untuk ikhlas. Pasrahku dalam sujud
terakhir shalat maghrib.
Hingga
malam hampir menghabiskan setengahnya kamar pengantin masih diselimuti sepi,
aku dan lelaki itu sama-sama larut dalam kebisuan. Lelaki itu sibuk dengan
majalahnya di bibir dipan paling kanan.
Aku terhanyut perih berbaring di
bibir kirinya dengan posisi miring membelakangi lelaki itu. Di antara kami ada
sepasang guling yang mewakili kemesraan kami.
“Hai,
orang asing.” Suara itu memecahkan keheningan. Lho, kok gitu? Gak asyik banget
deh! Gerutuku dalam hati.
“aku
tau kau tidak pernah menginginkan kejadian ini. Dan aku juga tau di hatimu buan
aku. Perlu juga kau tau, aku juga begitu.
Kita sama –sama menjadi korban pemerkosaan perasaan yang berkedok untuk
mempererat tali silaturrahim dan menjaga keturunan.” Pernyataan ini menghapus
semua kebencian dan semua prasangka burukku padanya. Karena semula aku selalu
beranggapan bahwa dialah orang yang paling berbahagia dalam kejadian ini,
ternyata aku salah. Dan semua pertanyaan yang aku pendam tentang kediamannya
selama separuh malam ini terjawablah sudah.
“Aku
membalikkan badan. Kuperhatikan posisinya masih seperti semula tapi majalahnya
sudah sudah dalam keadaan tertutup.
“Kenapa
kamu kakak tidak menentang dan menggagalkan pernikahan ini?” Aku mulai
memanggilnya kakak, karena sudah tidak ada lagi kebencian di hatiku.
“Tidak
ada alasan bagiku untuk menolak keinginan mereka. Kalaupun ada itu Cuma masalah
hati, dan aku yakin kalau Cuma dengan alasan itu hanya akan sia-sia.”
“Apa
rencana kakak selanjutnya?” pancingku.
“Kalau
aku mau jujur, sebenarnya aku mau melaksanakan tugasku malam ini sebagai
suamimu. Tapi tidak punya syarat yang cukup untuk itu. Aku Cuma punya nafsu dan
kebohongan. Dan aku tidak mau keduanya terjadi dalam hubungan suami istri. Apa
jadinya anakku nanti jika benihnya sudah dihasillkan dari keduanya tersebut.
Kamu?”
“aku
juga mau, tapi hanya berdasarkan nafsu juga. Kasihan anak kita kalau harus
tercipta dari benih yang berasal dari neraka jahnnam itu. Jadi, gimana nich?”
“Demi
kebaikan kita bersama, aku jatuhkan talak tiga kepadamu setelah terbitnya
fajar. Masalah orang tua kita biar aku yang akan menjelaskan semuanya nanti
setelah aku kembali ke rumah. Sekarang aku mau kabur, mau menjemput hatiku. Dan
nanti kita buktikan sama-sama kalau kita masih bisa menjaga dengan baik tali
silaturrahim kita tanpa adanya kawin paksa.”
Hari
ini senja itu terhampar di hadapanku
Selagi
suara kita masih bertaut dengan musik di kejauhan
Aku
tidak tau, senja itukah atau senja ini yang paling nyata?
Yang
tercerahkan oleh mentari yang menyinari bumi
Tlandung , 18
maret 2010