Halaman

Rabu, 21 November 2012

Saya dan Lelaki yang Menangis


Cerpen Yetti A. Ka (Suara Merdeka, 18 Desember 2011)
SUDAH satu jam ia menangis. Sudah satu jam pula saya hanya memandanginya dengan tatapan mata sama melankolis dengan perasaan seseorang yang telah meminta saya datang menemuinya ini. Saya tahu betul apa yang ia butuhkan, sebagaimana saya tahu keinginan orang-orang yang pernah menghubungi saya, lalu membuat janji bertemu di tempat yang mereka tentukan sendiri (biasanya tempat yang jauh dari keramaian). Dan, bagi saya, ini kali pertama menghadapi seseorang yang menangis selama satu jam dan belum berkata sama sekali, apalagi berteriak-teriak mengeluarkan seluruh kotoran yang mengendap di perasaannya, yang barangkali telah ia simpan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Lelaki ini hanya betul-betul menangis. Namun begitu, dari cara menangis, saya tahu sesungguhnya ia telah mengalami sesuatu yang berat dalam hidup. Saya tidak akan menanyakan soal itu padanya. Itu bukan urusan saya. Saya dihubungi olehnya untuk menjadi seorang pendengar (bukan seseorang yang menatapnya dengan mata ingin tahu dan bertanya macam-macam). Pekerjaan yang satu tahun ini saya jalani. Ah, jangan berpikir kalau pekerjaan sebagai pendengar itu sesuatu yang mudah. Kalau tidak percaya, cobalah mendengar seseorang berbicara selama sepuluh menit saja tanpa menyelanya apalagi bertanya atau berkomentar, setelah itu kau akan mengerti betapa sulit menjadi seorang saya yang mendengar orang bicara hingga berjam-jam.
Saya juga tidak tahu siapa nama lelaki ini. Saya memang tidak pernah bertanya tentang nama saat orang menelepon untuk menentukan waktu dan tempat di mana saya akan menjumpainya. Sore kemarin, lelaki muda berwajah oriental ini telah meminta saya menemuinya di padang rumput, tepatnya di bawah pohon akasia, pinggir kota, pukul sepuluh pagi. “Saya memakai t-shirt ungu dan jeans biru,” ujarnya. Tak lupa ia memberikan keterangan lebih detail di mana tepatnya akan menunggu.
Lalu dengan mudah saya menemukan ia di sini, duduk di atas rumput tanpa alas sama sekali. Wajahnya dingin, terkesan tertutup. Ia tidak tersenyum. Cuma mengangguk kecil saat saya bertanya dengan isyarat sederhana—untuk memastikan saja kalau saya tidak salah orang. Setelah kami duduk berhadapan, ia cepat sekali luruh. Menangis. Mata indahnya basah kuyup. Lelehan air jatuh di pipi dan itu sengaja ia biarkan. Bahu kurusnya terguncang-guncang. Sementara suara tangisnya, menurut saya, sedikit ia tahan.
Sudah satu jam lewat, lelaki di hadapan saya masih juga menangis dengan cara yang dapat membuat siapa pun yang melihat ingin meraihnya.
***
LELAKI di depan saya yang, meski mata mulai terlihat bengkak, tetap saja tampan, mengambil tisu dalam saku celana. Ia mengeluarkan ingus yang memenuhi hidung, membersihkannya dengan tisu, lalu meneruskan tangisnya. Saya tetap duduk, tetap memandangnya. Saya menunggu sampai ia bisa mengatakan sesuatu. Karena saya seorang pendengar, mendapati ia bicara merupakan bagian terpenting dari pekerjaan ini. Saya berharap ia berkata banyak. Banyak sekali. Saya malah ingin ia bicara sambil marah, dengan ekspresi selepas-lepasnya. Bila ia terbiasa menahan semua di hati, ini justru saat yang tepat baginya untuk bersikap berbeda. Bukankah itu gunanya ia menelepon saya dan membuat janji bertemu di padang rumput yang sepi ini? Saya bukan seseorang yang mengenalnya; bukan rekan kerja, bukan teman, bukan saudara atau kenalan. Ia tidak perlu sungkan atau berpikir saya punya kepentingan lain atas apa yang ia bicarakan. Saya bekerja profesional. Setelah menemui seseorang dan mendengar ia bicara mengenai berbagai kejadian pahit dalam hidup, saya tidak pernah memikirkan atau menyimpan semua yang saya dengar itu dalam waktu lama. Seringkali saya segera membuangnya, seperti ia membuang berlembar-lembar tisu sehabis mengelap ingus.
Dua jam sudah, lelaki di hadapan saya terus menangis.
***
MEMASUKI jam ketiga—saat serombongan anak berseragam sekolah mendekat, dan tampaknya mereka akan duduk-duduk sebentar menikmati pemandangan indah padang rumput ini—lelaki di depan saya mengangkat wajah yang basah. Ia mengeringkan mata, pipi, hidung, mulut dengan tisu yang ia ambil lagi dari saku. Kemudian kami saling bertatapan. Saya mengira, inilah saat ia akan bicara. Saya sudah menduga-duga sendiri, bisa jadi ia bermasalah dengan pacar atau istrinya. Sangat mungkin juga ia dan teman kerja terlibat konflik yang serius di kantor. Atau ia sedang sedih karena berhadapan dengan orang tua yang, menurut ia, tak bisa memahami kehidupannya.
Semua yang saya pikirkan itu segera buyar ketika lelaki itu berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.”
 mengambil amplop dalam tas secara terburu. Lantas menyerahkannya pada saya juga dengan terburu, “Suatu hari saya akan meneleponmu lagi,” ujarnya seraya mengenggam hangat tangan saya—setengah memaksa agar saya menerima kebaikan darinya.
Saya tetap diam. Ini benar-benar pertama kali saya menemui seseorang yang memakai jasa saya hanya untuk mendengarkan ia menangis sepanjang pertemuan. Tapi setidaknya saya belajar darinya bahwa tangisan itu juga bahasa yang telah banyak sekali menyampaikan sesuatu yang—sangat mungkinlebih luar biasa dari ribuan kata.
***
SETELAH lelaki itu pergi, saya tinggal sendirian. Saya yang minta ia pergi lebih dulu. Memang begitu biasanya. Saya butuh waktu beberapa menit mengatur perasaan saya kembali sebelum meninggalkan padang rumput yang sebentar lagi bakal tambah ramai dikunjungi anak-anak yang tinggal di sekitar sini untuk bermain bola dan mencari serangga sepulang sekolah. Saya harus memastikan, ketika naik angkutan kota nanti, perasaan saya mesti sama hijau dan segarnya saat berangkat tadi pagi.
Sendiri, memandangi padang rumput yang cukup luas membuat hati saya berdesir. Saya memejamkan mata beberapa jenak. Ah, sebenarnya saya tidak pernah membayangkan menjadi seorang pendengar. Sama sekali tidak terbayangkan. Cita-cita saya waktu kecil ingin menjadi pramugari karena setiap hari pesawat melintas di atas atap rumah kami. Itu cita-cita yang sangat keren di mata teman-teman. Hampir semua anak-anak perempuan di sekitar rumah kami memang ingin menjadi pramugari. Lalu saya tidak tahu kapan persisnya saya merubah impian itu, tiba-tiba saya sudah ingin menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Betapa luar biasa dalam pikiran saya waktu itu, berdiri di tengah anak-anak yang lincah, menyanyi bersama, menari, mendongeng, membaca, mewarnai gambar, membuat kura-kura dari lilin, menggunting kertas, hingga merayakan ulang tahun bersama.
Apa yang terjadi kemudian, saya tidak pernah menjadi keduanya. Saya tidak menjadi pramugari, juga gagal menjadi guru taman kanak-kanak. Tamat sekolah menengah atas saya justru menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Ia anak seorang sahabat keluarga. Saya menyerah saja ketika itu. Bapak dan ibu saya orang miskin. Kami tak punya banyak pilihan.
Hanya saja, pernikahan itu ternyata babak paling buruk dari kehidupan saya. Suami saya pencemburu. Saya tidak boleh keluar rumah. Saya tidak boleh berbicara dengan lelaki selain dia. Saya tidak boleh melakukan apa-apa selain mengerjakan apa yang ia kehendaki. Ia pun sering berbuat kasar. Tubuh saya pernah disiram air panas. Kepala saya sering dibenturkan ke dinding. Mata saya acap kena pukul, meninggalkan biru tua selama beberapa minggu. Daun telinga kanan saya diiris pada satu malam paling gelap. Hati saya menanggungkan sakit paling sakit. Saya tidak mau menyerah untuk kedua kali.
Saya tinggalkan lelaki itu. Saya pergi ke kota ini. Saya menata hidup pelan-pelan. Mencoba berbagai pekerjaan, dari babu hingga buruh pabrik. Pada akhirnya, setelah melalui proses yang panjang—bermula ketika saya bertemu ibu tua di taman kota yang menangis seharian sambil bercerita tentang hidup yang hampa—saya memilih menjadi seorang pendengar. Kota besar ini telah membuat banyak orang merasa terasing di keramaian, merasa tidak punya siapa-siapa untuk berbagi rasa sakit. Saya menyediakan hati untuk itu—menjadi seorang pendengar yang tentu pula berbeda dengan seorang psikiater atau psikolog.
Pekerjaan sebagai seorang pendengar adalah tentang ketulusan. Rasa pengertian yang dalam. Kesabaran tiada batas. Pengalaman hidup membuat saya paham bahwa seseorang yang sedang bersedih atau terluka hanya butuh didengarkan saja, sebab setelah itu, percayalah, ia akan kembali menemukan jalannya sendiri. Jalan yang ia pilih dengan dada dan perasaan yang telah ringan. Dan saya pun tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Saya tersenyum, karena saya tahu mereka pasti menemukan hal-hal termanis di kehidupan yang akan datang. Kau juga percaya itu, bukan?
***
TAPI ah, ini di luar perkiraan ketika dua bulan kemudian saya kembali menemukan ia, saya kembali menemukan ia, lelaki berwajah oriental, menangis sendirian di bangku taman saat saya hendak menemui seorang perempuan yang menelepon dan akan menunggu persis di bangku itu. Saya masih ingat betul kalau lelaki itu memang ia yang saya temui di padang rumput pinggir kota. Ia yang hanya menangis sepanjang pertemuan kami, dan berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.” Lelaki yang saya yakini, setelah pertemuan kami itu, bisa melewati kehidupannya dengan lebih baik. Nyatanya, kali ini, saya benar-benar salah. Saya tidak tahan melihat bahu kurusnya terguncang keras. Hati saya terluka.
Saya berkata pelan, “Kenapa kau tidak menghubungi saya?” sebenarnya saya ingin melanjutkan, tahukah kau, menemukanmu menangis sendirian di bangku taman membuat saya terluka, sebab seolah-olah kau benar-benar tak punya sesiapa lagi di dunia ini.
Lelaki itu mengangkat wajahnya. Mata sipitnya mengerjap, memandangi saya. Cuma sebentar saja. Setelah itu, ia melanjutkan tangisannya. Saya memutuskan untuk tetap berdiri di hadapan lelaki itu dan saya tidak tahu sejak kapan sudah menangis bersamanya. Ini tidak pernah terjadi. Terlebih dalam kapasitas saya sebagai seorang pendengar.
Maka kami pun menangis dengan suara yang tertahan-tahan. Kami berbagi rasa pedih yang diam-diam kami pendam. Dan kami tak perlu bicara apa-apa untuk saling tahu penderitaan serupa apa yang dapat melumpuhkan kami di saat-saat tertentu. Sama juga saya tidak tahu sampai kapan saya dan lelaki itu akan menghentikan tangisan yang bisa jadi dianggap konyol oleh beberapa orang yang lewat di depan kami. Bahkan saya juga tidak mengerti kenapa saya tidak terlalu memikirkan perempuan yang menelepon kemarin sore—seseorang yang seharusnya ada di bangku taman ini. Mungkinkah perempuan bersuara gundah itu pindah ke bangku lain karena tidak tega mengusir seorang lelaki yang sedang menangis? Entahlah. Sungguh. Entahlah. (*)
 .
.
                         Padang, 2011
Yetti A KA, bukunya yang telah terbit Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), dan Numi (2004).

Kamis, 08 November 2012

Yang Menunggu Senja


Aku seperti mendengar bunyi kepak sayap camar dari ujung dermaga. Mungkin hanya perasaanku saja, entah, aku mendengar kepak sayapnya pelan-pelan hilang dari pendengaranku. Aku duduk di dipan beratap rumbia, ada kue cokelat yang sedari tadi kugenggam erat.
Lalu aku menaruh kue cokelat itu di samping tempatku duduk. Aku merapikan selendang yang teraduk angin, aku mendengar bunyi debur yang bersahutan. Indah sekali bunyi buih yang saling berbenturan.  Pantai senja ini seperti biasa, ada beberapa pasang sejoli yang bergandeng tangan. Melintasi keindahan kasih lewat temaram senja menuju malam.
Aku tersenyum sendiri, cinta adalah maha daya. Segala yang kau punya bisa menjadi hilang hanya karena cinta, sebaliknya, segala yang hilang bisa kau miliki hanya dalam hitungan menit. Begitulah kekuatan dan kekayaan cinta. Apa semua orang di sini saling mencinta satu sama lain?
Apa bentuk cinta? Aku mengira sendiri bentuknya semacam apa, apakah kotak? Bulat? Atau cair? Apa materi padatnya? Bentuk riilnya? Atau memang bentuknya hanya serupa jantung yang merah; berdetak.
Aku diam sembari mengira apa itu cinta.
Tiba-tiba seorang lelaki berkaos putih duduk di sampingku. Rambutnya gimbal, wajahnya kusam, matanya merah berair. Jika kukira, usianya hanya berselisih dua tahun dari usiaku, sekitar 28 tahun usianya.
“Kau tau di mana cinta?” Tanya lelaki itu sembari tersenyum meledek.
Aku diam dan bergidik takut. Aku mengira, siapakah orang ini? Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu. Entahlah, aku mulai merasa tidak nyaman lagi duduk di tempat ini. Tapi, tunggu dulu, aku harus menjumpai lelakiku. Lelaki tinggi berparas rupawan, lelaki yang datang ketika senja merasuk pada gulita malam.
Lelakiku; Biyan, dia berjanji datang setiap senja. Biyan janji menjengukku setiap senja. Kami bersepakat memilih senja, karena terang siang malah menyudutkan kami pada sisi pojok. Kami adalah dua orang terasing yang memilih untuk mencintai, sekali pun semesta tidak mengizinkan untuk itu.
Lelaki yang duduk di sampingku menatap ke bola mataku, tepat ke bola mataku, aku kaku diam.
“Puan, tidakkah kau sadar?” Tanya lelaki itu.
Aku menatapnya heran. Lelaki ini gila kupikir, bajunya saja tidak betul, kotor dan bau. Pasti dia patah hati dan jadi gila. Dari garis wajahnya, dia lelaki tampan dulunya. Mata lelaki ini tajam, seperti siap merobek hati puannya. Bibirnya merah, tidak seperti kebanyakan lelaki yang perokok; berbibir cokelat atau hitam.
Aku diam kaku sedari tadi. Aku tidak boleh menanggapi orang gila ini, aku menunggu Biyan. Dia berjanji datang, lelaki yang kuselami jiwanya lebih dari dua tahun, lelaki yang selalu membuatku rebah ribuan kali tanpa perlawanan. Lelaki yang sebenarnya tidak boleh kucintai begini rupa, lelaki yang sudah punya garis takdir dengan puan lain.
Tidak, jangan kira aku duri dalam hidup puan lain; istri Biyan. Hubungan mereka bermasalah jauh sebelum aku datang, jadi janganlah orang kira aku hantu dalam rumah yang mereka huni.
Aku menatap laut yang terkena cahaya kuning senja, betapa aku menyukai senja ini. Lelaki gila di sampingku membuka bungkusanku yang berisi kue cokelat untuk Biyan. Aku menarik bungkusanku paksa, aku marah dan mataku melotot ke wajah lelaki itu.
Lelaki itu malah terkekeh pelan.
“Sini kumakan kue itu, dia tidak akan datang! Puan puan, itu laut sudah penuh dengan air matamu” ujar lelaki itu sembari terus terkekeh mengejek.
Wajahku merah padam, ingin rasanya aku menampar pipinya. Dia telah lancang mengambil apa yang bukan miliknya, dan itu perbuatan yang tidak sopan. Aku terdiam, lalu bagaimana dengan aku? Bukankah aku pun lancang mengambil apa yang bukan untukku. Tapi siapa bilang dia bukan milikku, Biyan milikku.
Lelaki gila itu berdiri dan merentangkan tangannya ke samping. Aku melihat bias tubuhnya, senja yang menguning, yuyu yang merambat ke kakiku. Aku diam.
Puan, jangan lagi kau tunggui dia” ujar lelaki gila itu. Dia menatapku sebentar, matanya yang tajam berubah menjadi teduh. Aku menatapnya dalam, ini lelaki yang pernah kukenal. Entah kapan. Aku menghitung waktu, kapan? Sejak kapan tatapan itu kuingat.
Kepalaku memberat, otot-ototku melemah dan jantungku seperti tidak berdetak. Aku mulai ragu, apa lelaki ini gila? Hatiku seperti menjerit nama Biyan, di mana dia? Lelaki yang setahun lalu berjanji menikahiku setelah urusannya selesai, dia pun berjanji suatu senja akan datang dan membawa bulan untukku.
Lelaki gila itu menatapku dalam, ada bulir air mata menetes dari pelupuknya. Puluhan, ratusan, ribuan, hingga akhirnya aku tidak tau bagaimana derasnya air mata itu. Aku menatapnya heran, kenapa dia menangis? Kenapa?
“Biyan tidak akan pernah datang” bisik lelaki itu pelan di tengah isaknya.
Aku diam menatapnya. Biyan berjanji datang suatu senja, agar dapat membawaku melihat terang keesokan harinya. Biyan mau hidup kami tidak lagi diselimuti ketakutan akan terang, Biyan ingin suatu pagi, bukan lagi redup senja dan kelam malam.
Aku menatap mata lelaki yang kupikir gila itu. Dia menatapku dalam, senja sudah mulai meredup dan bulan mulai muncul benderang.
“Mari kita pulang puan, besok, jika kau mau ke sini lagi aku antar” ujar lelaki gila itu.
Aku diam dan menurut. Kubiarkan kue cokelat teronggok tanpa tuan di dipan beratap rumbia. Entah ribuan senja sudah kulewati, di ruang mana aku bertanya cinta itu bentuknya apa. Hingga aku seperti tidak lagi sadar diriku sendiri, menanti orang yang tidak lagi mungkin kembali.
Biyan, Biyan, kupanggil lirih-lirih namanya. Aku dan lelaki gila itu berdiri, pelan kami menyusuri pantai. Butir pasir menyentuh kaki, aku menatap lelaki gila itu. Dia tersenyum manis sekali dan ribuan lebah seperti terbang melalui kupingku.
“Puan, mari pulang, minum obatmu dengan benar. Jangan lagi berlari seperti ini sendiri. Kau bisa mati seperti Biyan kalau seperti ini terus dan aku tidak mau itu terjadi. Ingat puan, kau harus hidup  dengan sisa kesadaran yang kau punya dan cinta yang kumiliki akan terus menghidupi jiwa kita. Kau tidak gila puan, hanya kau sedang patah hati. Mari kuantar kau pulang” ujar lelaki di sampingku.
Aku menatapnya. Dan senja pun luruh, malam menjuntai sempurna. Bayang perahu nelayan di kejauhan dan lampunya bergoyang mengikuti debur. Senja kali ini sama seperti senja yang kemarin. Sama saja.
#Gui Susan. Seorang ibu, 8 Januari 2008.  Teruntuk senja yang temaram, yang terakhir dilukis; hati