Halaman

Rabu, 31 Oktober 2012

melawan arus



Melawan Arus
Ole: 46 R
                Di tengah kerapuhanku, hukum Tuhan semakin jelas berkumandang “Ridlo Ibu Ridlo Tuhan Murka Ibu Murka Tuhan”. Semakin mempersempit  ruang gerak dan berfikir. Tapi aku tetap harus memilih. Karena kalau tida, akan banyak kata yang akan menyalahkanku. Aku harus memilih antara murka Tuhan dan cobaan.
                Pilihan ini memang sangat mudah bagi orang yang tidak pernah mau mengerti arti kata indah dan sangat redup bagi orang yang sedang mencari sesungguhnya arti hidup.
                “Sudahlah, Nduk!” ummi sudah berdiri di sampingku, melawan arah hadapku yang sedang mematung di bali jendela kamarku, memandangi pagi yang redup tanpa indahnya senyum embun dan tanpa pesona sinar surya, karena mendung tengah membungkus wajah langit. Aku tidak jauh beda dengan pagi ini, redup.  Tanpa senyum menyungging dan tanpa aura.
                Ummi membalikkan badannya dan membelai lembut rambut panjangku.
                “Umm rasa keputusan ummi tidak ada yang perlu dirubah, karena menurut kami, pilihan ummi yang lebih tepat menjadi imammu. Nasabnya jelas, lulusan timur tengah, dan yang paling penting dia masih kerabat dekat kita, kamu dan dia satu buyut. Dengan perjodohan ini  jalinan  silaturrahmi kita jadi semakin erat dan terpelihara dengan baik. Keturunanmu juga, nasab dari embah buyutmu akan terus nyambung.” Ummi memang tidak pernah kasar dalam berbicara. Namun cukup jelas dan lugas.
                Dari tadi aku bisa diam mendengarkan tutur lembut ummi, selembut benang ulat sutra tapi sanagat tajam, setajam pisau daging yang sedang memotong kedua kaki dan tanganku hingga membuatku cacat seumur hidup. Semula aku ingin membantah, tapi itu tdak mungkin bisa merubah keputusan ummi ini dan yang akan aku dapatkan hanyalah dosa.
                Dalam kebekuan aku coba angkat bicara.
                “Ummi sayang sama Nayla?” beliau hanya menjawabnya dengan tatapan yang sangat dalam kepadaku kemudian mengecup keningku lalu memeluk erat tubuh kurusku. Sebenarnya aku sudah tau jawabannya karena kasih sayang beliau sudah aku rasakan sejak aku masih dalam rahimnya hingga sekarang. Tapi kenapa sekarang ummi sama tidak mau mencoba  untuk meengerti dan menerima orang yang sudah jadi pilihan aku? Apakah karena dia berasal dari keluarga biasa yang derajat sosialnya di bawah derajat keluarga kami, hanya lulusan pesantren lokal dan tidak punya masa depan? Apakah ummi sudah menganggap eluarganya keluarga hina dan menganggap keluarga kami sebagai  kebanggaan? Atau, adakah nash Al-qur’an  dan hadist yang secara khusus  mengharamkan semua anggota keluarga kami hidup bahagia dengan pilihaanya sendiri? Adakah jaminan dalam keluarga besar kami? Bukankah keluarganya juga berhak? Tuhan, sungguh aku tidak akan saggup bila harus hidup dengan orang yang sama sekali tidak punya tempat di hatiku dan harus berpura-pura tersenyum setiap hari sedangkan hatiku meronta,  Munajatku dalam pelukan ummi.
                Ummi pergi meninggalkanku yang sudah tidak tahan lagi menahan bendungan air mata. Sedangakan aku masih betah menemani pagi. Aku ingin mengantarkannya ke pangkuan seperempat awal siang, berharap setelahnya sinarakan  datang menghancurakan kebekuan akalku, mengarahkan aku ke jalan yang hati ingin.
                Meskipun awan sedang menyekat perataan cahaya mentari
                Sehingga bumi tanpak manyun
                Tapi di balik awan itu
                Ia masih beraktifitas seperti biasanya
                Aku yakin itu!
                Sebenanya aku masih males untuk dekat-dekat dengan ummi. Tapi biar bagaimanapun juga beliau orang yang melahirkan aku ke dunia setelah sembilan bulan mengandung. Aku juga masih ingin menjadi anak yang berbakti, kecuali soal pasngan hidup. Meskipun dalam keadaan terpaksa aku tetap bantu-bantu ummi di dapur untuk menyiapkan  makan siang.
                “oia, ummi lupa tadi gak ngasih tau kamu bahwa akad nikah sekaligus walimatul urusynya  akan dilaksanakan awal bulan depan. Tepatnya tanggal tujuh april.”
                “Aku beku terdiam di atas lincak dengan sebilah pisau dapur di tangan kanan dan sesiung bawang putih di tangan kiri. Hatiku berkecamuk. Ya Allah, kuatkan hambamu yang leemah ini. Jangan dosakan hamba bila pisau ini hamba tanncapkan  ke perut hamba. Atau hamba iriskan paada  nadi hamba.  Dan jangan dosakan pula bila sampai ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut hamba untuk ummi. Atau hamba harus menentang  kehendak satu-satunya orang tua hamba yang paling aku sayagi.
                “Ummi, apakah tidak bisa diundur sampai aku lulus sekolah?” kali ini aku masih dengan suara datar dan pasrah.
                “Tidak, ini sudah menjadi keputsan besama.”
                “kenapa Nayla tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan ini?” manyun.
                “Ummi rasa ummi saja sudah cukup.” Jawabnya Ketus.
                “Kalau aku tidak bisa?” Tekanan darahku sudah mulai meninggi.
                “Kamu harus bisa. Demi ummi!” suaranya memelan.
                “Aku tetap tiak bisa. Lebih baik aku kehilangan yang kupunya dari pada aku harus kehilangan waktuku untuk belajar, termasuk keluarga ini. Dan saya rasa syarat yang aku ajukan tidak begitu berat, satu tahun bukan waktu yang lama untuk ditunggu demi kebaikan bersama.”
***
                Dengan lisan aku memang masih bisa menentang ummi. Dan itu sudah aku akui sebelumnya bahwa itu dosa. Tapi daya seakan tak tersisa sama sekali untuk  menentang hari ini, hari pernikahanku dengan seorang kiai muda tanpan lulusan timur tengah. Banyak orang di sekelilingku yang menganggap aku bodoh  karena aku lebih memilih calon dari kalangan rakyat jelata. Namun semua anggapan itu telah aku jawab dengan satu kalimat saja, “hanya dengannya hdupku lebih punya arti.”
                Pulangnya mentari keperaduannya semakin membuaat hatiku risau dan galau untuk memasuki malam yang semua orang nanti-nantikan, tapi neraka bagiku; malam pertama. Sebenarnya aku menantikannya tapi bukan dengan lelaki ini. Ya Tuhan, rencana apalagi yang telah engkau programkan untuk hamba malam ini. Akankah berpihak pada hamba, atau pada keluarga hamba? Hamba pasrah! Apapun yang akan terjadi malam ini, hamba akan selalu mencoba untuk ikhlas. Pasrahku dalam sujud terakhir shalat maghrib.
                Hingga malam hampir menghabiskan setengahnya kamar pengantin masih diselimuti sepi, aku dan lelaki itu sama-sama larut dalam kebisuan. Lelaki itu sibuk dengan majalahnya di bibir dipan paling kanan.  Aku terhanyut  perih berbaring di bibir kirinya dengan posisi miring membelakangi lelaki itu. Di antara kami ada sepasang guling yang mewakili kemesraan kami.
                “Hai, orang asing.” Suara itu memecahkan keheningan. Lho, kok gitu? Gak asyik banget deh! Gerutuku dalam hati.
                “aku tau kau tidak pernah menginginkan kejadian ini. Dan aku juga tau di hatimu buan aku. Perlu juga kau tau, aku juga begitu.  Kita sama –sama menjadi korban pemerkosaan perasaan yang berkedok untuk mempererat tali silaturrahim dan menjaga keturunan.” Pernyataan ini menghapus semua kebencian dan semua prasangka burukku padanya. Karena semula aku selalu beranggapan bahwa dialah orang yang paling berbahagia dalam kejadian ini, ternyata aku salah. Dan semua pertanyaan yang aku pendam tentang kediamannya selama separuh malam ini terjawablah sudah.
                “Aku membalikkan badan. Kuperhatikan posisinya masih seperti semula tapi majalahnya sudah sudah dalam keadaan tertutup.
                “Kenapa kamu kakak tidak menentang dan menggagalkan pernikahan ini?” Aku mulai memanggilnya kakak, karena sudah tidak ada lagi kebencian di hatiku.
                “Tidak ada alasan bagiku untuk menolak keinginan mereka. Kalaupun ada itu Cuma masalah hati, dan aku yakin kalau Cuma dengan alasan itu hanya akan sia-sia.”
                “Apa rencana kakak  selanjutnya?” pancingku.
                “Kalau aku mau jujur, sebenarnya aku mau melaksanakan tugasku malam ini sebagai suamimu. Tapi tidak punya syarat yang cukup untuk itu. Aku Cuma punya nafsu dan kebohongan. Dan aku tidak mau keduanya terjadi dalam hubungan suami istri. Apa jadinya anakku nanti jika benihnya sudah dihasillkan dari keduanya tersebut. Kamu?”
                “aku juga mau, tapi hanya berdasarkan nafsu juga. Kasihan anak kita kalau harus tercipta dari benih yang berasal dari neraka jahnnam itu. Jadi, gimana nich?”
                “Demi kebaikan kita bersama, aku jatuhkan talak tiga kepadamu setelah terbitnya fajar. Masalah orang tua kita biar aku yang akan menjelaskan semuanya nanti setelah aku kembali ke rumah. Sekarang aku mau kabur, mau menjemput hatiku. Dan nanti kita buktikan sama-sama kalau kita masih bisa menjaga dengan baik tali silaturrahim kita tanpa adanya kawin paksa.”
                Hari ini senja itu terhampar di hadapanku
                Selagi suara kita masih bertaut dengan musik di kejauhan
                Aku tidak tau, senja itukah atau senja ini yang paling nyata?
                Yang tercerahkan oleh mentari yang menyinari bumi

                                                                                                                Tlandung , 18 maret 2010