Cerpen
Yetti A. Ka (Suara Merdeka, 18 Desember 2011)
SUDAH satu jam
ia menangis. Sudah satu jam pula saya hanya memandanginya dengan tatapan mata
sama melankolis dengan perasaan seseorang yang telah meminta saya datang
menemuinya ini. Saya tahu betul apa yang ia butuhkan, sebagaimana saya tahu
keinginan orang-orang yang pernah menghubungi saya, lalu membuat janji bertemu
di tempat yang mereka tentukan sendiri (biasanya tempat yang jauh dari
keramaian). Dan, bagi saya, ini kali pertama menghadapi seseorang yang menangis
selama satu jam dan belum berkata sama sekali, apalagi berteriak-teriak
mengeluarkan seluruh kotoran yang mengendap di perasaannya, yang barangkali
telah ia simpan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Lelaki ini hanya
betul-betul menangis. Namun begitu, dari cara menangis, saya tahu sesungguhnya
ia telah mengalami sesuatu yang berat dalam hidup. Saya tidak akan menanyakan
soal itu padanya. Itu bukan urusan saya. Saya dihubungi olehnya untuk menjadi
seorang pendengar (bukan seseorang yang menatapnya dengan mata ingin tahu dan
bertanya macam-macam). Pekerjaan yang satu tahun ini saya jalani. Ah, jangan berpikir
kalau pekerjaan sebagai pendengar itu sesuatu yang mudah. Kalau tidak percaya,
cobalah mendengar seseorang berbicara selama sepuluh menit saja tanpa
menyelanya apalagi bertanya atau berkomentar, setelah itu kau akan mengerti
betapa sulit menjadi seorang saya yang mendengar orang bicara hingga
berjam-jam.
Saya
juga tidak tahu siapa nama lelaki ini. Saya memang tidak pernah bertanya
tentang nama saat orang menelepon untuk menentukan waktu dan tempat di mana
saya akan menjumpainya. Sore kemarin, lelaki muda berwajah oriental ini telah
meminta saya menemuinya di padang rumput, tepatnya di bawah pohon akasia,
pinggir kota, pukul sepuluh pagi. “Saya memakai t-shirt ungu dan jeans
biru,” ujarnya. Tak lupa ia memberikan keterangan lebih detail di mana tepatnya
akan menunggu.
Lalu
dengan mudah saya menemukan ia di sini, duduk di atas rumput tanpa alas sama
sekali. Wajahnya dingin, terkesan tertutup. Ia tidak tersenyum. Cuma mengangguk
kecil saat saya bertanya dengan isyarat sederhana—untuk memastikan saja kalau
saya tidak salah orang. Setelah kami duduk berhadapan, ia cepat sekali luruh.
Menangis. Mata indahnya basah kuyup. Lelehan air jatuh di pipi dan itu sengaja
ia biarkan. Bahu kurusnya terguncang-guncang. Sementara suara tangisnya,
menurut saya, sedikit ia tahan.
Sudah
satu jam lewat, lelaki di hadapan saya masih juga menangis dengan cara yang
dapat membuat siapa pun yang melihat ingin meraihnya.
***
LELAKI di depan
saya yang, meski mata mulai terlihat bengkak, tetap saja tampan, mengambil tisu
dalam saku celana. Ia mengeluarkan ingus yang memenuhi hidung, membersihkannya
dengan tisu, lalu meneruskan tangisnya. Saya tetap duduk, tetap memandangnya.
Saya menunggu sampai ia bisa mengatakan sesuatu. Karena saya seorang pendengar,
mendapati ia bicara merupakan bagian terpenting dari pekerjaan ini. Saya
berharap ia berkata banyak. Banyak sekali. Saya malah ingin ia bicara sambil
marah, dengan ekspresi selepas-lepasnya. Bila ia terbiasa menahan semua di
hati, ini justru saat yang tepat baginya untuk bersikap berbeda. Bukankah itu
gunanya ia menelepon saya dan membuat janji bertemu di padang rumput yang sepi
ini? Saya bukan seseorang yang mengenalnya; bukan rekan kerja, bukan teman,
bukan saudara atau kenalan. Ia tidak perlu sungkan atau berpikir saya punya
kepentingan lain atas apa yang ia bicarakan. Saya bekerja profesional. Setelah
menemui seseorang dan mendengar ia bicara mengenai berbagai kejadian pahit
dalam hidup, saya tidak pernah memikirkan atau menyimpan semua yang saya dengar
itu dalam waktu lama. Seringkali saya segera membuangnya, seperti ia membuang
berlembar-lembar tisu sehabis mengelap ingus.
Dua
jam sudah, lelaki di hadapan saya terus menangis.
***
MEMASUKI jam
ketiga—saat serombongan anak berseragam sekolah mendekat, dan tampaknya mereka
akan duduk-duduk sebentar menikmati pemandangan indah padang rumput ini—lelaki
di depan saya mengangkat wajah yang basah. Ia mengeringkan mata, pipi, hidung,
mulut dengan tisu yang ia ambil lagi dari saku. Kemudian kami saling
bertatapan. Saya mengira, inilah saat ia akan bicara. Saya sudah menduga-duga
sendiri, bisa jadi ia bermasalah dengan pacar atau istrinya. Sangat mungkin
juga ia dan teman kerja terlibat konflik yang serius di kantor. Atau ia sedang
sedih karena berhadapan dengan orang tua yang, menurut ia, tak bisa memahami
kehidupannya.
Semua
yang saya pikirkan itu segera buyar ketika lelaki itu berkata, “Sudah selesai.
Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.”
mengambil amplop dalam tas secara terburu.
Lantas menyerahkannya pada saya juga dengan terburu, “Suatu hari saya akan
meneleponmu lagi,” ujarnya seraya mengenggam hangat tangan saya—setengah
memaksa agar saya menerima kebaikan darinya.
Saya
tetap diam. Ini benar-benar pertama kali saya menemui seseorang yang memakai
jasa saya hanya untuk mendengarkan ia menangis sepanjang pertemuan. Tapi
setidaknya saya belajar darinya bahwa tangisan itu juga bahasa yang telah
banyak sekali menyampaikan sesuatu yang—sangat mungkinlebih luar biasa dari
ribuan kata.
***
SETELAH lelaki
itu pergi, saya tinggal sendirian. Saya yang minta ia pergi lebih dulu. Memang
begitu biasanya. Saya butuh waktu beberapa menit mengatur perasaan saya kembali
sebelum meninggalkan padang rumput yang sebentar lagi bakal tambah ramai
dikunjungi anak-anak yang tinggal di sekitar sini untuk bermain bola dan
mencari serangga sepulang sekolah. Saya harus memastikan, ketika naik angkutan
kota nanti, perasaan saya mesti sama hijau dan segarnya saat berangkat tadi
pagi.
Sendiri,
memandangi padang rumput yang cukup luas membuat hati saya berdesir. Saya
memejamkan mata beberapa jenak. Ah, sebenarnya saya tidak pernah membayangkan
menjadi seorang pendengar. Sama sekali tidak terbayangkan. Cita-cita saya waktu
kecil ingin menjadi pramugari karena setiap hari pesawat melintas di atas atap
rumah kami. Itu cita-cita yang sangat keren di mata teman-teman. Hampir semua
anak-anak perempuan di sekitar rumah kami memang ingin menjadi pramugari. Lalu
saya tidak tahu kapan persisnya saya merubah impian itu, tiba-tiba saya sudah
ingin menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Betapa luar biasa dalam pikiran
saya waktu itu, berdiri di tengah anak-anak yang lincah, menyanyi bersama,
menari, mendongeng, membaca, mewarnai gambar, membuat kura-kura dari lilin,
menggunting kertas, hingga merayakan ulang tahun bersama.
Apa
yang terjadi kemudian, saya tidak pernah menjadi keduanya. Saya tidak menjadi
pramugari, juga gagal menjadi guru taman kanak-kanak. Tamat sekolah menengah
atas saya justru menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Ia anak seorang
sahabat keluarga. Saya menyerah saja ketika itu. Bapak dan ibu saya orang
miskin. Kami tak punya banyak pilihan.
Hanya
saja, pernikahan itu ternyata babak paling buruk dari kehidupan saya. Suami
saya pencemburu. Saya tidak boleh keluar rumah. Saya tidak boleh berbicara
dengan lelaki selain dia. Saya tidak boleh melakukan apa-apa selain mengerjakan
apa yang ia kehendaki. Ia pun sering berbuat kasar. Tubuh saya pernah disiram
air panas. Kepala saya sering dibenturkan ke dinding. Mata saya acap kena
pukul, meninggalkan biru tua selama beberapa minggu. Daun telinga kanan saya
diiris pada satu malam paling gelap. Hati saya menanggungkan sakit paling
sakit. Saya tidak mau menyerah untuk kedua kali.
Saya
tinggalkan lelaki itu. Saya pergi ke kota ini. Saya menata hidup pelan-pelan.
Mencoba berbagai pekerjaan, dari babu hingga buruh pabrik. Pada akhirnya,
setelah melalui proses yang panjang—bermula ketika saya bertemu ibu tua di
taman kota yang menangis seharian sambil bercerita tentang hidup yang
hampa—saya memilih menjadi seorang pendengar. Kota besar ini telah membuat
banyak orang merasa terasing di keramaian, merasa tidak punya siapa-siapa untuk
berbagi rasa sakit. Saya menyediakan hati untuk itu—menjadi seorang pendengar
yang tentu pula berbeda dengan seorang psikiater atau psikolog.
Pekerjaan
sebagai seorang pendengar adalah tentang ketulusan. Rasa pengertian yang dalam.
Kesabaran tiada batas. Pengalaman hidup membuat saya paham bahwa seseorang yang
sedang bersedih atau terluka hanya butuh didengarkan saja, sebab setelah itu,
percayalah, ia akan kembali menemukan jalannya sendiri. Jalan yang ia pilih
dengan dada dan perasaan yang telah ringan. Dan saya pun tak perlu
mengkhawatirkan apa-apa lagi. Saya tersenyum, karena saya tahu mereka pasti
menemukan hal-hal termanis di kehidupan yang akan datang. Kau juga percaya itu,
bukan?
***
TAPI ah, ini
di luar perkiraan ketika dua bulan kemudian saya kembali menemukan ia, saya
kembali menemukan ia, lelaki berwajah oriental, menangis sendirian di bangku
taman saat saya hendak menemui seorang perempuan yang menelepon dan akan
menunggu persis di bangku itu. Saya masih ingat betul kalau lelaki itu memang
ia yang saya temui di padang rumput pinggir kota. Ia yang hanya menangis
sepanjang pertemuan kami, dan berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan
dan lebih nyaman sekarang.” Lelaki yang saya yakini, setelah pertemuan kami
itu, bisa melewati kehidupannya dengan lebih baik. Nyatanya, kali ini, saya
benar-benar salah. Saya tidak tahan melihat bahu kurusnya terguncang keras.
Hati saya terluka.
Saya
berkata pelan, “Kenapa kau tidak menghubungi saya?” sebenarnya saya ingin
melanjutkan, tahukah kau, menemukanmu menangis sendirian di bangku taman
membuat saya terluka, sebab seolah-olah kau benar-benar tak punya sesiapa lagi
di dunia ini.
Lelaki
itu mengangkat wajahnya. Mata sipitnya mengerjap, memandangi saya. Cuma
sebentar saja. Setelah itu, ia melanjutkan tangisannya. Saya memutuskan untuk
tetap berdiri di hadapan lelaki itu dan saya tidak tahu sejak kapan sudah
menangis bersamanya. Ini tidak pernah terjadi. Terlebih dalam kapasitas saya
sebagai seorang pendengar.
Maka
kami pun menangis dengan suara yang tertahan-tahan. Kami berbagi rasa pedih
yang diam-diam kami pendam. Dan kami tak perlu bicara apa-apa untuk saling tahu
penderitaan serupa apa yang dapat melumpuhkan kami di saat-saat tertentu. Sama
juga saya tidak tahu sampai kapan saya dan lelaki itu akan menghentikan
tangisan yang bisa jadi dianggap konyol oleh beberapa orang yang lewat di depan
kami. Bahkan saya juga tidak mengerti kenapa saya tidak terlalu memikirkan
perempuan yang menelepon kemarin sore—seseorang yang seharusnya ada di bangku
taman ini. Mungkinkah perempuan bersuara gundah itu pindah ke bangku lain
karena tidak tega mengusir seorang lelaki yang sedang menangis? Entahlah.
Sungguh. Entahlah. (*)
.
.
Padang, 2011
Yetti
A KA, bukunya yang telah terbit Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Musim
yang Menggugurkan Daun (2010), dan Numi (2004).