Rul menatapi sehampar senja di depannya.
Selalu. Bila langit tak sedang kelabu, senja-senja itu senantiasa
menggiringnya duduk di beranda, lalu memandang diam pada helai jingga
itu. Selalu juga, Ras menemaninya duduk di sampingnya sambil
membawakannya teh dan gorengan hangat. Kadang pisang, kadang ubi, kadang
tempe, kadang tahu, macam-macam. Lalu segera saja tiap-tiap senja
jingga itu memberi makna yang sama. Senja berarti duduk di beranda,
ditemani Ras dan hidangan sore yang hangat nikmat.
Tapi senja ini berbeda agaknya. Selarik
halus jingga yang memanjang bersama gumpal-gumpal awan itu tiba-tiba
saja membentuk segurat wajah. Wajah yang puitis. Ah, para seniman kata
sudah terlalu sering menggunakan frasa itu. Tapi sungguh, di sore yang
indah ini, langit senja itu menjelma serupa wajah yang telah lama
berdiam di satu ruang di dalam hatinya. Terkunci rapat lalu tertimbun
memori-memori baru yang mengantarkannya ke dirinya sekarang ini.
Rul terkesiap sejenak. Ras tidak menyadari itu. Dalam diamnya batin Rul mulai menyusun kata demi kata. Puisi sederhana;
Duhai, wajah elok yang diwarnai jingga senja
Mengapakah tiba-tiba muncul menggundahi hati?
Mengapakah tiba-tiba muncul menggundahi hati?
Jari jemari Rul mulai mengetuk-ngetuk
tangan kursi. Teh dalam cangkir di tangan kanannya masih mengepul. Ia
hirup pelan-pelan dengan bibirnya yang tiba-tiba saja bergetar halus.
Ras tak menyadari itu. Ia asyik mengunyah pisang goreng sambil membaca
majalah.
Dalam seruputnya, mata Rul tengadah ke wajah jingga yang tersenyum kepadanya. Duhai, bahkan teh manis ini masih kalah rasa dibandingkan manis indahnya wajah itu.
Cepat-cepat ia taruh cangkirnya di meja dengan tangan yang kini ikut
bergetar pelan, seperti bibirnya. Ras tetap tidak menyadari itu. Ia
masih asyik mengunyah tempe goreng sekarang, dan masih menyusuri
kalimat-kalimat di dalam majalah dengan matanya.
Senja yang hening. Senja yang diam. Senja
yang sepi dan sunyi. Bahkan hampir senyap jika tak ada kicau burung
pipit yang melintasi halaman rumah mereka. Desir angin yang menggesek
dedaun bagai alunan biola dari negeri yang jauh. Begitu sepoi.
Sesungguhnya bisa menimbulkan kantuk. Namun wajah elok, manis nan indah
itu masih mengapung di sana, berlatar hamparan jingga yang makin
memerah. Gurat wajah itu justru menguat, bukannya sirna. Terus melekat
di benak Rul hingga Ras mengajaknya masuk sebelum malam mengelam.
***
Sebelum senja datang hari itu, Rul telah
duduk di beranda. Pada selembar kertas virtual di monitor, ia mengadu.
Bercurah rasa tentang gundah yang timbul tenggelam memenuhi benaknya
semingguan ini. Ia tak ingin Ras tahu tentang rasanya ini. Maka ia
biarkan jari jemarinya menari sendiri mengikuti buncahan kata-kata yang
mendesak keluar. Mengosongkan beberapa ruang mampat di otaknya agar
lega. Menguntainya menjadi berlarik-larik puisi.
Separuh mimpiku hilang
Rasanya tak lagi pernah sama
Rindu pada rindu
Rindu pada cinta
Rindu pada rasa
Yang pernah sejenak kau titip di hatiku
Rasanya tak lagi pernah sama
Rindu pada rindu
Rindu pada cinta
Rindu pada rasa
Yang pernah sejenak kau titip di hatiku
Sejenak yang memasungku, lama
Membuai imajiku tanpa ampun
Meronakan anganku tanpa batas
Menyalakan lagi tungku yang semula enggan berdiang
Hangat, serupa bayang-bayang senyummu
Membuai imajiku tanpa ampun
Meronakan anganku tanpa batas
Menyalakan lagi tungku yang semula enggan berdiang
Hangat, serupa bayang-bayang senyummu
Nikmat, indah, dan aku ingin lagi
Ingin lagi kau memasungku lebih lama
Lebih, lebih lama
Hingga aku tahu bahwa aku takkan pernah bosan
Pada aroma surga yang kau embuskan
Ingin lagi kau memasungku lebih lama
Lebih, lebih lama
Hingga aku tahu bahwa aku takkan pernah bosan
Pada aroma surga yang kau embuskan
Lewat larik-larik puisi sederhana
Lewat sungging bibirmu
Lewat teduh tatapmu
Lewat mimpi-mimpi yang kau antar
Tetap saja, aku ingin terpasung lebih lama
Lewat sungging bibirmu
Lewat teduh tatapmu
Lewat mimpi-mimpi yang kau antar
Tetap saja, aku ingin terpasung lebih lama
Selesai itu, ia terdiam. Memandangi kertas virtual yang kini telah bertaburan kata-kata bertema gundah. Apa yang kini tengah kugundahi?
Ia berpikir, mencoba mencerna setiap kata hamburan dari kepalanya itu.
Satu sisi batinnya menolak kegundahan itu. Sisi lainnya sayup-sayup
memunculkan satu nama sekaligus wajah pemiliknya. Mulanya samar, namun
makin kuat ia menolak, makin tegas pulalah bayang wajah itu tercipta.
Tak lagi dapat ditampik, sewajah sutra nan halus lembut milik Rin lah
asal muasalnya. Mengapa Rin? Dan…mengapa sekarang?
Rinta Meilani. Duhai…sedesir cinta lama
menggelayuti hatinya kini. Dimana dia sekarang? Dengan siapa dan sedang
berbuat apa? Ia tersenyum kecil mengingat selirik lagu band mendayu itu.
Tanpa sadar, ia terus tersenyum, terus mengetik, sampai Ras muncul dari
balik pintu membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan sepiring
goreng tahu. Senja seperti biasa. Rul begitu hanyut dalam kata-kata yang
ia ciptakan sampai tak menyadari Ras yang telah duduk di sampingnya,
tanpa majalah. Ras hanya diam di situ sambil sesekali melirik Rul yang
masih terus asyik dengan laptopnya.
“Bang,” Ras menegur. Rul tak menyahut. Dipanggilnya lagi dengan volume yang lebih keras.
“Bang,” Beberapa jenak sebelum akhirnya Rul menyahut tanpa menoleh.
“Hmmm…”
“Aku mau tanya sesuatu,”
“Apa? Bilang saja,” Ras diam sejenak sebelum kembali membuka suara.
“Aku menemukan ini di atas meja kerjamu. Ini untuk siapa?”
Rul menoleh bersamaan dengan munculnya
kerinyit di keningnya. Ia mengambil kertas yang dipegang Ras,
mengamatinya sejenak. Kerinyit dahinya perlahan memudar. Ia tersenyum
kecil lalu memandang Ras yang menanti jawabannya.
“Ini bukan untuk siapa-siapa, Ras. Memangnya kau pikir ini untuk siapa?”
“Itu puisi untuk perempuan lain, kan?”
Ras bertanya menyelidik. Senyum kecil Rul berubah menjadi tawa renyah.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menatap kertas bertulis
tangan di depannya.
“Bagaimana bisa kau berkata kalau ini untuk perempuan lain?”
“Aku istrimu, bang. Aku tahu dari perasaanku sebagai istrimu.”
“Apa cukup hanya mengandalkan perasaan perempuanmu saja?”
“Aku memang tak punya bukti lebih jauh tapi perasaanku cukup kuat untuk membuktikan itu.”
“Tapi bukan berarti perasaanmu selalu
benar, kan? Bisa saja itu cuma pikiranmu yang sudah tercemari
cerita-cerita yang ada di majalahmu itu. Tentang suami yang ketahuan
berselingkuh karena surat cinta yang tak sengaja ditemukan istrinya.
Lagipula, secarik puisi ini belum bisa menjadi bukti kalau aku sedang
memikirkan perempuan lain ketika menuliskannya.”
Hening beberapa jenak. Sesungguhnya hati Rul mulai kebat-kebit. Bagaimana bisa aku lupa menyimpannya? Sementara Ras mulai meremas jari jemarinya sendiri. Gelisah.
“Bagaimana mungkin kau bisa membuat puisi
begini indah, sepenuh perasaanmu, jika sedang tak ada perasaan cinta
dan objek perempuan yang kau pikirkan sekaligus?”
Rul menarik nafasnya dalam dan
mengembuskannya. Bagaimanapun, ia sudah tertangkap basah sekarang. Kuyup
segenap jiwanya. Tapi dikuatkannya hati dan matanya untuk menatap mata
Ras lekat-lekat.
“Kau kan tahu aku ini suka menulis fiksi lalu mengirimkannya ke koran atau majalah? Apa yang salah jika aku menulis puisi ini?”
“Tak ada yang salah jika puisi ini tak terselip rapi sendiri di bawah buku agendamu lalu kau tulis sebuah inisial di bawahnya.”
Pandangan Rul turun, mencari inisial yang
dimaksudkan Ras. Dan tertangkaplah ia dua kali. Semakin kuyuplah
jiwanya. Dalam kebasahan itu, ia memacu otaknya agar berpikir lebih
keras untuk menemukan jawaban yang tepat guna menanggapi ucapan Ras. Ia
memilih tertawa lebih dulu untuk menenangkan jantungnya yang mulai
berdentuman.
“Ini kan inisialmu, Ras. RM. Rasti
Mahadewi.” Ia berlega hati saat tahu suaranya tak tercekat ketika
mengatakan itu. Ras melengos. Dipalingkannya muka dengan wajah menegang.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum berujar,
“Itu bisa jadi inisialku. Tapi kau tak
bisa mengelak kalau aku mengatakan isi puisi itu tak mencerminkan
diriku, Bang. Lihatlah. Rambutku lurus, tak ikal mayang, kulitku
cokelat, bukan secerah mentari, dan aku lebih suka mawar daripada
melati. Kau pasti tahu itu.” Rul diam dengan masih memegang kertas puisi
itu.
“Lagipula, inisial yang sama bisa berarti nama yang berbeda, kan?”
Tamatlah sudah! Rul mengutuki
dirinya sendiri. Wajahnya memanas. Tapi sebagai lelaki, ia tak ingin
begitu saja menyerah pada cecaran Ras. Ia mencoba tenang dan memaksa
otaknya bekerja lebih keras untuk mencari alasan. Ia pasang ekspresi
muka sedatar mungkin, lalu berkata dengan lembut pada istrinya.
“Mengapa kau mempersoalkan keselarasan isi puisi dengan inisialmu di situ, Ras? Tokh,
aku hanya menulis fiksi berupa puisi. Bukankah untuk menulis fiksi
terkadang dibutuhkan imajinasi liar tak terkendali? Maksudnya pasti agar
fiksi yang tercipta pun jadi bernyawa, benar-benar hidup, padahal
isinya belum tentu sesuai kenyataan. Jadi janganlah heran bila isi puisi
yang berinisial namamu tak sesuai dengan adanya dirimu, Ras, istriku
sayang…”
“Lagipula, aku berniat mengetiknya nanti
untuk kukirimkan ke koran Minggu. Jadi, tak ada yang perlu dipersoalkan
dari puisi itu. Itu hanya fiksi.”
Selesai berkata itu, Rul merasa aneh
dengan ucapannya sendiri. Ia sedang mengkambinghitamkan sesuatu bernama
fiksi! Hati putihnya berontak, namun kali ini terpaksa harus mengalah
pada sisi hitamnya.
Ras lalu diam saja. Ia memang tak
mengerti bagaimana proses mencipta puisi, pun cerita-cerita fiksi
seperti yang kerap ia baca di majalah langganannya. Ia memang tahu
puisi-puisi dan cerpen-cerpen Rul sesekali terpampang manis di koran
Minggu. Kebanyakan bertema sosial. Tapi tak sedikit juga yang bertema
cinta. Tanpa banyak bertanya, ia menikmati fiksi-fiksi itu. Fiksi-fiksi
yang menurut Rul terinspirasi dari mana saja, siapa saja. Bisa dari
murni khayalannya atau -kini- dari pergulatan gundah batinnya sendiri
kala teringat lagi pada sosok Rinta Meilani. Ahh…
***
ilustrasi gambar diambil dari SINI