Halaman

Jumat, 14 Desember 2012

Cemburu Pada Fiksi – Cerpen Annisa F. Rangkuti

                                               

Rul menatapi sehampar senja di depannya. Selalu. Bila langit tak sedang kelabu, senja-senja itu senantiasa menggiringnya duduk di beranda, lalu memandang diam pada helai jingga itu. Selalu juga, Ras menemaninya duduk di sampingnya sambil membawakannya teh dan gorengan hangat. Kadang pisang, kadang ubi, kadang tempe, kadang tahu, macam-macam. Lalu segera saja tiap-tiap senja jingga itu memberi makna yang sama. Senja berarti duduk di beranda, ditemani Ras dan hidangan sore yang hangat nikmat.

Tapi senja ini berbeda agaknya. Selarik halus jingga yang memanjang bersama gumpal-gumpal awan itu tiba-tiba saja membentuk segurat wajah. Wajah yang puitis. Ah, para seniman kata sudah terlalu sering menggunakan frasa itu. Tapi sungguh, di sore yang indah ini, langit senja itu menjelma serupa wajah yang telah lama berdiam di satu ruang di dalam hatinya. Terkunci rapat lalu tertimbun memori-memori baru yang mengantarkannya ke dirinya sekarang ini.

Rul terkesiap sejenak. Ras tidak menyadari itu. Dalam diamnya batin Rul mulai menyusun kata demi kata. Puisi sederhana;

Duhai, wajah elok yang diwarnai jingga senja
Mengapakah tiba-tiba muncul menggundahi hati?

Jari jemari Rul mulai mengetuk-ngetuk tangan kursi. Teh dalam cangkir di tangan kanannya masih mengepul. Ia hirup pelan-pelan dengan bibirnya yang tiba-tiba saja bergetar halus. Ras tak menyadari itu. Ia asyik mengunyah pisang goreng sambil membaca majalah.

Dalam seruputnya, mata Rul tengadah ke wajah jingga yang tersenyum kepadanya. Duhai, bahkan teh manis ini masih kalah rasa dibandingkan manis indahnya wajah itu. Cepat-cepat ia taruh cangkirnya di meja dengan tangan yang kini ikut bergetar pelan, seperti bibirnya. Ras tetap tidak menyadari itu.  Ia masih asyik mengunyah tempe goreng sekarang, dan masih menyusuri kalimat-kalimat di dalam majalah dengan matanya.

Senja yang hening. Senja yang diam. Senja yang sepi dan sunyi. Bahkan hampir senyap jika tak ada kicau burung pipit yang melintasi halaman rumah mereka. Desir angin yang menggesek dedaun bagai alunan biola dari negeri yang jauh. Begitu sepoi. Sesungguhnya bisa menimbulkan kantuk. Namun wajah elok, manis nan indah itu masih mengapung di sana, berlatar hamparan jingga yang makin memerah. Gurat wajah itu justru menguat, bukannya sirna. Terus melekat di benak Rul hingga Ras mengajaknya masuk sebelum malam mengelam.

***

Sebelum senja datang hari itu, Rul telah duduk di beranda. Pada selembar kertas virtual di monitor, ia mengadu. Bercurah rasa tentang gundah yang timbul tenggelam memenuhi benaknya semingguan ini. Ia tak ingin Ras tahu tentang rasanya ini. Maka ia biarkan jari jemarinya menari sendiri mengikuti buncahan kata-kata yang mendesak keluar. Mengosongkan beberapa ruang mampat di otaknya agar lega. Menguntainya menjadi berlarik-larik puisi.

Separuh mimpiku hilang
Rasanya tak lagi pernah sama
Rindu pada rindu
Rindu pada cinta
Rindu pada rasa
Yang pernah sejenak kau titip di hatiku
Sejenak yang memasungku, lama
Membuai imajiku tanpa ampun
Meronakan anganku tanpa batas
Menyalakan lagi tungku yang semula enggan berdiang
Hangat, serupa bayang-bayang senyummu
Nikmat, indah, dan aku ingin lagi
Ingin lagi kau memasungku lebih lama
Lebih, lebih lama
Hingga aku tahu bahwa aku takkan pernah bosan
Pada aroma surga yang kau embuskan
Lewat larik-larik puisi sederhana
Lewat sungging bibirmu
Lewat teduh tatapmu
Lewat mimpi-mimpi yang kau antar
Tetap saja, aku ingin terpasung lebih lama

Selesai itu, ia terdiam. Memandangi kertas virtual yang kini telah bertaburan kata-kata bertema gundah. Apa yang kini tengah kugundahi? Ia berpikir, mencoba mencerna setiap kata hamburan dari kepalanya itu. Satu sisi batinnya menolak kegundahan itu. Sisi lainnya sayup-sayup memunculkan satu nama sekaligus wajah pemiliknya. Mulanya samar, namun makin kuat ia menolak, makin tegas pulalah bayang wajah itu tercipta. Tak lagi dapat ditampik, sewajah sutra nan halus lembut milik Rin lah asal muasalnya. Mengapa Rin? Dan…mengapa sekarang?

Rinta Meilani. Duhai…sedesir cinta lama menggelayuti hatinya kini. Dimana dia sekarang? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Ia tersenyum kecil mengingat selirik lagu band mendayu itu. Tanpa sadar, ia terus tersenyum, terus mengetik, sampai Ras muncul dari balik pintu membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan sepiring goreng tahu. Senja seperti biasa. Rul begitu hanyut dalam kata-kata yang ia ciptakan sampai tak menyadari Ras yang telah duduk di sampingnya, tanpa majalah. Ras hanya diam di situ sambil sesekali melirik Rul yang masih terus asyik dengan laptopnya.

“Bang,” Ras menegur. Rul tak menyahut. Dipanggilnya lagi dengan volume yang lebih keras.
“Bang,” Beberapa jenak sebelum akhirnya Rul menyahut tanpa menoleh.
“Hmmm…”
“Aku mau tanya sesuatu,”
“Apa? Bilang saja,” Ras diam sejenak sebelum kembali membuka suara.
“Aku menemukan ini di atas meja kerjamu. Ini untuk siapa?”

Rul menoleh bersamaan dengan munculnya kerinyit di keningnya. Ia mengambil kertas yang dipegang Ras, mengamatinya sejenak. Kerinyit dahinya perlahan memudar. Ia tersenyum kecil lalu memandang Ras yang menanti jawabannya.

“Ini bukan untuk siapa-siapa, Ras. Memangnya kau pikir ini untuk siapa?”
“Itu puisi untuk perempuan lain, kan?” Ras bertanya menyelidik. Senyum kecil Rul berubah menjadi tawa renyah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menatap kertas bertulis tangan di depannya.

“Bagaimana bisa kau berkata kalau ini untuk perempuan lain?”
“Aku istrimu, bang. Aku tahu dari perasaanku sebagai istrimu.”
“Apa cukup hanya mengandalkan perasaan perempuanmu saja?”
“Aku memang tak punya bukti lebih jauh tapi perasaanku cukup kuat untuk membuktikan itu.”
“Tapi bukan berarti perasaanmu selalu benar, kan? Bisa saja itu cuma pikiranmu yang sudah tercemari cerita-cerita yang ada di majalahmu itu. Tentang suami yang ketahuan berselingkuh karena surat cinta yang tak sengaja ditemukan istrinya. Lagipula, secarik puisi ini belum bisa menjadi bukti kalau aku sedang memikirkan perempuan lain ketika menuliskannya.”
Hening beberapa jenak. Sesungguhnya hati Rul mulai kebat-kebit. Bagaimana bisa aku lupa menyimpannya? Sementara Ras mulai meremas jari jemarinya sendiri. Gelisah.
“Bagaimana mungkin kau bisa membuat puisi begini indah, sepenuh perasaanmu, jika sedang tak ada perasaan cinta dan objek perempuan yang kau pikirkan sekaligus?”
Rul menarik nafasnya dalam dan mengembuskannya. Bagaimanapun, ia sudah tertangkap basah sekarang. Kuyup segenap jiwanya. Tapi dikuatkannya hati dan matanya untuk menatap mata Ras lekat-lekat.
“Kau kan tahu aku ini suka menulis fiksi lalu mengirimkannya ke koran atau majalah? Apa yang salah jika aku menulis puisi ini?”
“Tak ada yang salah jika puisi ini tak terselip rapi sendiri di bawah buku agendamu lalu kau tulis sebuah inisial di bawahnya.”
Pandangan Rul turun, mencari inisial yang dimaksudkan Ras. Dan tertangkaplah ia dua kali. Semakin kuyuplah jiwanya. Dalam kebasahan itu, ia memacu otaknya agar berpikir lebih keras untuk menemukan jawaban yang tepat guna menanggapi ucapan Ras. Ia memilih tertawa lebih dulu untuk menenangkan jantungnya yang mulai berdentuman.
“Ini kan inisialmu, Ras. RM. Rasti Mahadewi.” Ia berlega hati saat tahu suaranya tak tercekat ketika mengatakan itu. Ras melengos. Dipalingkannya muka dengan wajah menegang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum berujar,
“Itu bisa jadi inisialku. Tapi kau tak bisa mengelak kalau aku mengatakan isi puisi itu tak mencerminkan diriku, Bang. Lihatlah. Rambutku lurus, tak ikal mayang, kulitku cokelat, bukan secerah mentari, dan aku lebih suka mawar daripada melati. Kau pasti tahu itu.” Rul diam dengan masih memegang kertas puisi itu.
“Lagipula, inisial yang sama bisa berarti nama yang berbeda, kan?”
Tamatlah sudah! Rul mengutuki dirinya sendiri. Wajahnya memanas. Tapi sebagai lelaki, ia tak ingin begitu saja menyerah pada cecaran Ras. Ia mencoba tenang dan memaksa otaknya bekerja lebih keras untuk mencari alasan. Ia pasang ekspresi muka sedatar mungkin, lalu berkata dengan lembut pada istrinya.
“Mengapa kau mempersoalkan keselarasan isi puisi dengan inisialmu di situ, Ras? Tokh, aku hanya menulis fiksi berupa puisi. Bukankah untuk menulis fiksi terkadang dibutuhkan imajinasi liar tak terkendali? Maksudnya pasti agar fiksi yang tercipta pun jadi bernyawa, benar-benar hidup, padahal isinya belum tentu sesuai kenyataan. Jadi janganlah heran bila isi puisi yang berinisial namamu tak sesuai dengan adanya dirimu, Ras, istriku sayang…”
“Lagipula, aku berniat mengetiknya nanti untuk kukirimkan ke koran Minggu. Jadi, tak ada yang perlu dipersoalkan dari puisi itu. Itu hanya fiksi.”
Selesai berkata itu, Rul merasa aneh dengan ucapannya sendiri. Ia sedang mengkambinghitamkan sesuatu bernama fiksi! Hati putihnya berontak, namun kali ini terpaksa harus mengalah pada sisi hitamnya.
Ras lalu diam saja. Ia memang tak mengerti bagaimana proses mencipta puisi, pun cerita-cerita fiksi seperti yang kerap ia baca di majalah langganannya. Ia memang tahu puisi-puisi dan cerpen-cerpen Rul sesekali terpampang manis di koran Minggu. Kebanyakan bertema sosial. Tapi tak sedikit juga yang bertema cinta. Tanpa banyak bertanya, ia menikmati fiksi-fiksi itu. Fiksi-fiksi yang menurut Rul terinspirasi dari mana saja, siapa saja. Bisa dari murni khayalannya atau -kini- dari pergulatan gundah batinnya sendiri kala teringat lagi pada sosok Rinta Meilani. Ahh
***
ilustrasi gambar diambil dari SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar