Halaman

Kamis, 06 Desember 2012

Kereta Kematian

Kereta Kematian

Cerpen Leopold Indrawan (Koran Tempo, 11 November 2012)

TAK pernah kubayangkan bagaimana rasa kematian itu. Ingatanku tentang hidup berakhir ketika sebuah peluru menembus keningku. Seragam prajuritku kembali bersih dan licin seperti sebelum aku berangkat ke Normandia. Tak ada bekas koyak ataupun resapan darah. Luka-luka di sekujur tubuhku sirna seakan kulitku belum sempat menghirup udara perang. Namun kurasa tak banyak yang hilang. Padahal kukira kematian akan melenyapkan ingatan.
“Kau punya kekasih?” tanya Magnus (kami sama-sama memandang ke luar jendela). Ia melahap dua kursi untuk tubuhnya yang terlampau besar. Pria itu mengenakan baju zirah rantai, celana linen cokelat muda kusam, dan sepatu bot kulit bertemali. Ia memangku helm baja berwarna perunggu. Sebuah perisai kayu bundar bercat biru-merah miliknya disandarkan di punggung kursi depan.
“Aku sudah menikah,” jawabku.
Magnus berpaling ke arahku. Ia mengangkuk-angguk, lantas menepuk pundakku. Jemariku mengetuk-ngetuk helm timah di pangkuanku, mencoba mengalihkan sedikit kecanggungan pada sosok akrab yang baru kukenal itu.
“Kau merindukan istrimu?” Ia melepaskan genggamannya. Senyumnya tampak tipis di bawah lebat kumis jingganya.
Aku tersenyum mengiyakan. Dan aku mungkin perlu bersedih sekaligus berlega hati, karena kematian tak menghapuskan kenangan. Barangkali hati kecilku sudah menduga datangnya saat ini. Ketika akan berangkat perang, aku berpesan pada Peggy untuk tidak menantiku kembali. Pelukanku, pelukan kami, pada waktu itu pun menjadi pelukan terakhir.
“Kau akan menemuinya lagi di Valhalla!” ujar Magnus dengan yakin.
Aku mendengar nama gaib itu lagi: Valhalla. Valhöll.
Sejak perjalanan baru dimulai, Magnus bercerita tentang mitos-mitos yang ia yakini. Menurutnya, setiap orang yang mati secara heroik di medan perang akan diantar para valkyrja, kelompok batari yang bertugas memilih para ksatria yang telah tumpas, menuju Valhalla—sebuah balai agung berdinding tombak-tombak dan berpagu perisai-perisai emas. Valhalla terletak di Asgard, alam para dewa yang dikuasai Odin, sang penguasa Kerajaan Sorga dalam saga-saga Skandinavia. Setiap ksatria yang terpilih untuk memasuki Valhalla dipersiapkan untuk menghadapi Ragnarök—perang akhir zaman para panteon yang mengingatkanku pada wahyu Santo Yohannes tentang Pertempuran Armageddon. Magnus mengaku, tadinya ia percaya bahwa hanya pendekar-pendekar Viking seperti dirinyalah yang berhak memasuki Valhalla, tetapi karena aku satu gerbong dengannya di kereta kematian ini, ia pun yakin aku diantarkan menuju tempat yang sama. Kendati aku tak paham bagaimana ia meyakini bakal bertemu istrinya di Valhalla. Istrinya dan istriku kecil kemungkinan akan mati karena bertempur demi memenangkan perang. Ia tak menjelaskan, aku pun tak bertanya.
Kereta terus melaju dan entah akan berhenti di mana. Pemandangan di luar menampilkan bintang-bintang berjatuhan—putih, bercahaya, dan melesat-lesat. Indah, namun sesaat saja sirna tanpa makna. Ombak-ombak besar bergulung-gulung di bawah jembatan—mustahil ada yang selamat jika tergulung di dalamnya. Hal lain yang memikatku adalah jalur kereta ini: sebuah jembatan amat panjang yang berpendar seperti pelangi. Magnus menyebutnya Bilröst atau Bifröst. Warna merahnya adalah api, diciptakan supaya para raksasa es tak dapat menyeberang ke sorga. Warna birunya adalah udara dan warna hijaunya adalah air. Ketiga warna itu berpendar dan berkobar menjembatani sorga dan bumi.
“Kita menuju entah,” kataku.
“Asalkan kita tidak dibawa ke Niflheim saja! Hahaha!” seloroh Magnus. Aku kurang paham letak kelucuan candaannya. Ia pikir aku turut mengenal nama-nama asing yang disebutkannya sejak tadi: Æsir, Urd, Himinbjörg, Niflheim, Muspelheim, dan banyak nama lain yang mudah kulupakan.
Aku khusyuk memandangi planet-planet dan bintang-bintang bertaburan di angkasa hitam. Magnus, yang merasa paling paham mengenai konsep kosmogoni bangsanya, menjelaskan padaku perihal benda-benda langit itu. Menurut dia: akar-akar dan ranting-ranting dari pohon semesta Yggdrasil bertambah banyak berlipat-lipat ganda, menghubungkan berbagai dunia baru di celah Ginnunga, hamparan luas kehampaan. Magnus memercayai keberadaan Yggdrasil; pohon ash mahabesar yang menjadi pusat kosmos, pokok sembilan dunia. Ah, teorinya akan sangat fantastis untuk menjadi dongeng anak-anak.
Di kursi seberang aku berkenalan dengan James Buchanan. Ia memintaku memanggilnya Bucky. Ia masih sangat belia dan senyumnya masih sepolos kuntum daffodil. Kedua matanya pun nampak terlalu jernih untuk merasakan kesedihan akan kematian. Bucky mengenakan seragam khaki tamtama Amerika Serikat—ini yang membuatku tak segan menyapanya. Ia seorang prajurit yang tewas dalam ledakan ketika hendak menjinakkan bom dalam pesawat di pangkalan angkatan darat European Theater of Operations. Kejadian itu berlangsung pada masa perang yang juga kualami—Perang Dunia Kedua.
“Bumi kita mungkin sama, tapi aku berasal dari kemungkinan yang lain,” kata Bucky. Tak tergurat kesedihan pada parasnya. Bisa jadi aku menilainya terlalu dini.
Dari barisan seberang depan, ia berpindah kursi ke samping kiriku. Aku kemudian menjabat tangannya. Kami dibatasi oleh jalur pejalan. Kami banyak bercerita tentang Perang Dunia Kedua yang kami alami. Bucky juga berkisah tentang sahabat karibnya, seorang pahlawan perang yang menyembunyikan identitasnya dan bertarung tanpa peluru mengalahkan pasukan Jerman. Aku pun memperkenalkan Bucky pada Magnus yang tak memahami pistol dan peluru. Ia juga tidak mengenal Nazi dan Adolf Hitler. Kami bertiga berasal dari semesta yang berbeda—aku dan Bucky berasal dari tempat yang agak berdekatan. Magnus lebih bangga bercerita tentang pertempurannya melawan naga bersisik perunggu di perjalanannya menuju Islandia. Peperangan dan pertempuran akan menjadi bahan cerita yang menggairahkan, ketika semua itu sudah berlalu dan luka-luka kami telah sembuh.
“James Buchanan.” Sekonyong-konyong terdengar suara berdengung memotong pembicaraan kami. Sesosok makhluk yang tak jelas perempuan atau lelaki, hitam legam dan tinggi besar, berjalan tegak menghampiri kami. Wajahnya tersimpan dalam bayang-bayang pekat.
“Ada apa, Azrael?” sahut Bucky.
“Ikutlah denganku. Ada yang telah mendobrak takdir dan menyambung usiamu.” Suara Azrael terdengar begitu tak manusiawi, serupa dengung lebah yang keras dan tegas. Bunyi abstrak itu begitu masuk ke dalam benak tiap pendengarnya menjadi bahasa yang dapat dimaknai.
“Aku hidup kembali? Bagaimana mungkin?”
Azrael mengangguk hening.
Aku dan Magnus hanya menyaksikan keduanya dalam diam.
Bucky bangkit berdiri. Ia melambaikan tangannya pada kami dan berjanji untuk tidak melupakan kami. Azrael menuntunnya ke pintu gerbong di depan baris kursi terdepan. Pintu itu membuka dan menampakkan laut lepas dan puing-puing pesawat. Pemandangan di jendela pun berganti serupa. Bucky melangkah ke dalam ruang itu dan kembali melebur bersama waktu. Azrael melenyap menjadi kepulan asap hitam. Planet-planet dan bintang-bintang kembali bermunculan. Ingatanku beralih pada peristiwa sebelum kematianku.

Omaha, 6 Juni 1944
Pagi itu batas antara hidup dan mati begitu dekat dan sengit. Desau angin seolah tak henti-henti merapalkan syair kematian. Dan tiap lesatan peluru mendaraskan firasat buruk.
Langkah-langkah serdadu berkecipak di pantai menyatu dengan letupan-letupan mesiu. Lontaran-lontaran proyektil berdesing-desing seumpama puluhan kereta api melintas di atas ubun-ubun. Pasir-pasir berloncatan dihunjam peluru-peluru senapan mesin. Ombak-ombak berdebur membasuh tubuh-tubuh yang terkapar di batas pantai. Pagar-pagar baja raksasa berdiri kokoh menjadi nisan bagi tiap jenazah. Kayu-kayu runcing terpancang congkak menantang angin laut.
Sekian orang terkapar, bersisa separuh tubuh—pinggul sampai telapak kaki mereka hancur oleh ledakan ranjau. Sekian orang remuk kepalanya terhantam proyektil-proyektil meriam. Sekian orang lainnya kehilangan satu atau sepasang lengan mereka yang terputus oleh bermacam jebakan dan serangan tak terduga. Kucuran darah memerahkan ombak-ombak yang menjilati pesisir. Banyak di antara kami yang pasrah menerima peluru. Banyak di antara kami yang mau berhenti saja. Tapi, jika kami berhenti, kekacauan ini tak akan berhenti.
Jerit kesakitan dan kumandang perintah timbul tenggelam dalam kur kematian. Demikian pula petikan-petikan mazmur dan caci maki. Tak ada yang mampu kudengar jelas di ambang hidup dan mati. Derit pintu kematian tak kalah berisik daripada riuh kehidupan.
Aku mengendap di undakan pasir kering berkerikil dekat sebuah meriam Howitzer. Sengitnya baku tembak menyempitkan luasnya medan. Kawan-kawan sereguku memencar ke arah yang tak kuketahui dan mungkin juga mereka sudah mati. Selebihnya aku hanya membidik ke depan bersama regu yang tak kukenal. Peluh mengucur di wajah dan sekujur badanku. Ada lonjakan panas tak wajar yang membersit dalam badanku. Di saat yang kurang tepat, aku memikirkan Peggy dan ayah-ibuku. Sungguh menggelikan. Batinku malah cengeng di saat yang tak pantas. Aku masih belum boleh pulang!
Kelengahanku membikin perutku terserempet peluru. Aku terjatuh dan seragamku tercabik-cabik kawat berduri. Aku terjerat dalam semak kawat itu. Sementara senapanku terlempar ke pasir dan tak mampu kuraih. Bunyi berdesing-desing sekonyong-konyong mengalir deras tepat di atas kepalaku. Aku berguling ke balik tumpukan karung pasir dalam keadaan masih terjerat. Aku terpaksa menahan perih tertusuk kawat untuk berlindung sementara.
Things are really fucked up!
Perutku tertancap sejumlah duri dan berlumuran darah. Aku mencabuti duri-duri itu secepatnya untuk menyingkat perih. Namun, perih tak secepat itu meninggalkanku. Dan tahu-tahu aku sudah sendirian di antara pertempuran yang berlangsung. Aku memandang ke arah pantai yang melengkung. Tank-tank amphibi berdatangan. Sejumlah pesawat dan kapal sekutu masih sibuk meledakkan pantai untuk membuat lubang-lubang perlindungan.
Saat suasana kurasa cukup memungkinkan, aku memutuskan untuk memanjat tebing pendek di hadapanku menuju tembok besar di atas bebatuan itu. Penembak senapan mesin di balik tembok itu tengah keasyikan menembaki prajurit-prajurit di pinggir pantai. Aku berjaga-jaga membidik ke kiri-kanan. Tahu-tahu seregu prajurit berseru: “FIRE IN THE HOLE!”
Aku secara refleks berlari dan melompat ke area yang kosong. Ledakkan besar merontokkan sehamparan pasir berkerikil di atasku. Ledakkan itu berasal dari susunan pipa-pipa hijau yang lekas kusadari adalah rangkaian pelontar torpedo Bangalore.
“Dasar tolol! Kau bisa mati konyol!” seru prajurit dari balik undakan pasir yang lebih rendah dari posisiku. Ia berniat membersihkan daerah di atasku itu.
Aku yang lengah kini berada di posisi yang berbahaya. Di atas bekas ledakan torpedo Bangalore, penembak Jerman sudah membidik tepat ke kepalaku. Aku bersiaga di luar kesadaranku untuk menembak balik. Tetapi kecepatan telah sirna. Ketika kau akan mati, kau akan merasakan kematianmu begitu perlahan.
Peluru-peluru tampak membeku di udara. Di ambang kematian seperti ini, takdir membiarkan kita untuk melihat sekeliling dalam kejernihan. Aku pun menyadari tubuhku tak lagi berharga. Pikiranku seolah tahu persis apa yang mesti kuperbuat. Aku berlari dalam kecepatan yang tak terhitung lagi oleh waktu. Aku menghadang peluru-peluru yang mengambang beku di udara itu dengan tubuhku yang kelak tertembus. Kuempaskan bogem ke arah serdadu Jerman yang menembakku. Sebagian giginya terpelanting. Kuhunjamkan sebilah pisau panjang tepat pada jantungnya. Aku bersimpuh di samping mayatnya dan aku mulai terisak meski akal sehatku tidak mempersilakanku untuk bersedih. Dari sudut yang tak lagi kuwaspadai, sebuah peluru tepat menembus keningku dan tubuhku terlempar dengan sendirinya ke pasir berbatu.
Tubuhku tak merasakan apa-apa lagi sesudahnya.
Sebuah tangan nan hitam meraihku, membangkitkanku. Aku melihat sosoknya tanpa keterkejutan yang berarti. Entah, rasanya firasatku sudah menduga akan hadirnya sosok itu. Ia hitam—lebih pekat daripada bayang-bayang malam sekalipun—dan tinggi besar, serta memiliki suara berdengung tegas bagaikan skuadron lebah. Ia Azrael, atau Izrail, malaikat pencabut nyawa. Ia bagaikan aura hitam tak berbentuk.
Azrael menggiringku pada sebuah lubang portal yang menganga lebar di antara medan pertempuran. Di saat yang sama, lubang-lubang serupa tampak di sepanjang Omaha, dan sosok-sosok Azrael berhamburan di sepanjang pantai, menggiring tiap serdadu yang telah tumpas ke dalam lubang-lubang itu.
Di balik lubang-lubang yang tampak bercahaya putih cerlang tampaklah sebuah stasiun kereta api yang panjangnya mencapai cakrawala. Stasiun itu ramai oleh orang-orang yang berkerumun mengantri pada tiap peron. Tiap petak lantai memantulkan rupa di atasnya bagaikan cermin paling jernih. Pilar-pilar pemisah peron menjulang tinggi sampai ke langit-langit yang berkubah-kubah. Pilar-pilar putih mengilap itu tampak megah oleh cincin-cincin emas yang mengitarinya. Di seluruh permukaan dinding stasiun tertambat jutaan jam tengah berdetak menunjukkan waktu-waktu yang berbeda. Sebuah kereta perak dengan ribuan jendela yang memantulkan langit cerah dari tingkap-tingkap kaca pada kubah telah siaga menanti penumpang. Relnya adalah pelangi yang membara.
Azrael membawaku pada satu gerbong di mana aku bertemu dengan beberapa orang yang kurang lebih senasib. Mereka adalah pendekar-pendekar yang mangkat dari berbagai sudut ruang dan waktu alam semesta. Ada seorang samurai muda yang meninggal dalam pertempuran Sekigahara di Jepang. Ada seorang aktivis pembela hak asasi dari Indonesia yang meninggal diracun di pesawat menuju Amsterdam. Di sinilah aku berkenalan dengan Magnus, pria Viking yang terbunuh di sebuah pertempuran di Paris. Gemetar aku ketika mendengar ia dibunuh kawannya sendiri saat mencegah kawannya itu membunuh seorang pendeta. Akan tetapi, Magnus adalah pria yang gembira dan bukan perompak bengis seperti dalam bayanganku tentang orang-orang Viking. Kami berbincang dalam bahasa yang berbeda, tetapi kematian—atau keabadian—telah meleburkan belenggu bahasa sehingga kami dapat memahami satu sama lain. Magnus sempat cerewet sewaktu ia tak menemukan perahu panjang yang dalam bayangannya akan mengantarnya menuju Asgard. Ia malah menemukan sebuah kereta metalik yang panjangnya melebihi jarak pandang. Kereta itu memiliki bagian dalam yang luas dengan dinding-dinding abu-abu keperakan berguratkan puisi-puisi tentang asal-muasal alam semesta. Itu tulisan futhark, kata Magnus memberi tahu jenis aksara geometris yang tergurat pada dinding. Mirip lambang Waffen-SS, pasukan bersenjata Nazi, pikirku.
Tak lama setelah aku duduk di salah satu kursi nan empuk berbordir pohon Yggdrasil bersepuh emas, kereta pun melaju mengarungi pelangi. Sunyi tanpa gemuruh mesin dan lengking siulan lokomotif. Magnus pun lantas bercerita panjang lebar tentang mitos-mitos bangsanya, mulai dari kisah penciptaan raksasa pertama sampai riwayat-riwayat para dewa. Aku menjadi pendengar yang baik (meski tak selalu setia) sembari menekuni apa yang tengah terjadi dalam kematianku. Aku terpikir tak sempat pulang untuk pamit. Aku memandang ke luar jendela yang penuh dengan awan dan berucap dalam hati: mungkin hanya kerinduan yang tak mampu kita tuntaskan dalam kematian. Sebab hidup memiliki kisahnya sendiri untuk dituntaskan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar