Kereta Kematian
Cerpen
Leopold Indrawan (Koran Tempo, 11 November 2012)
TAK pernah
kubayangkan bagaimana rasa kematian itu. Ingatanku tentang hidup berakhir
ketika sebuah peluru menembus keningku. Seragam prajuritku kembali bersih dan
licin seperti sebelum aku berangkat ke Normandia. Tak ada bekas koyak ataupun
resapan darah. Luka-luka di sekujur tubuhku sirna seakan kulitku belum sempat
menghirup udara perang. Namun kurasa tak banyak yang hilang. Padahal kukira
kematian akan melenyapkan ingatan.
“Kau
punya kekasih?” tanya Magnus (kami sama-sama memandang ke luar jendela). Ia
melahap dua kursi untuk tubuhnya yang terlampau besar. Pria itu mengenakan baju
zirah rantai, celana linen cokelat muda kusam, dan sepatu bot kulit bertemali.
Ia memangku helm baja berwarna perunggu. Sebuah perisai kayu bundar bercat
biru-merah miliknya disandarkan di punggung kursi depan.
“Aku
sudah menikah,” jawabku.
Magnus
berpaling ke arahku. Ia mengangkuk-angguk, lantas menepuk pundakku. Jemariku
mengetuk-ngetuk helm timah di pangkuanku, mencoba mengalihkan sedikit
kecanggungan pada sosok akrab yang baru kukenal itu.
“Kau
merindukan istrimu?” Ia melepaskan genggamannya. Senyumnya tampak tipis di
bawah lebat kumis jingganya.
Aku
tersenyum mengiyakan. Dan aku mungkin perlu bersedih sekaligus berlega hati,
karena kematian tak menghapuskan kenangan. Barangkali hati kecilku sudah
menduga datangnya saat ini. Ketika akan berangkat perang, aku berpesan pada
Peggy untuk tidak menantiku kembali. Pelukanku, pelukan kami, pada waktu itu
pun menjadi pelukan terakhir.
“Kau
akan menemuinya lagi di Valhalla!” ujar Magnus dengan yakin.
Aku
mendengar nama gaib itu lagi: Valhalla. Valhöll.
Sejak
perjalanan baru dimulai, Magnus bercerita tentang mitos-mitos yang ia yakini.
Menurutnya, setiap orang yang mati secara heroik di medan perang akan diantar
para valkyrja, kelompok batari yang bertugas memilih para ksatria yang
telah tumpas, menuju Valhalla—sebuah balai agung berdinding tombak-tombak dan
berpagu perisai-perisai emas. Valhalla terletak di Asgard, alam para dewa yang
dikuasai Odin, sang penguasa Kerajaan Sorga dalam saga-saga Skandinavia. Setiap
ksatria yang terpilih untuk memasuki Valhalla dipersiapkan untuk menghadapi
Ragnarök—perang akhir zaman para panteon yang mengingatkanku pada wahyu Santo
Yohannes tentang Pertempuran Armageddon. Magnus mengaku, tadinya ia percaya
bahwa hanya pendekar-pendekar Viking seperti dirinyalah yang berhak memasuki
Valhalla, tetapi karena aku satu gerbong dengannya di kereta kematian ini, ia
pun yakin aku diantarkan menuju tempat yang sama. Kendati aku tak paham
bagaimana ia meyakini bakal bertemu istrinya di Valhalla. Istrinya dan istriku
kecil kemungkinan akan mati karena bertempur demi memenangkan perang. Ia tak
menjelaskan, aku pun tak bertanya.
Kereta
terus melaju dan entah akan berhenti di mana. Pemandangan di luar menampilkan
bintang-bintang berjatuhan—putih, bercahaya, dan melesat-lesat. Indah, namun
sesaat saja sirna tanpa makna. Ombak-ombak besar bergulung-gulung di bawah
jembatan—mustahil ada yang selamat jika tergulung di dalamnya. Hal lain yang
memikatku adalah jalur kereta ini: sebuah jembatan amat panjang yang berpendar
seperti pelangi. Magnus menyebutnya Bilröst atau Bifröst. Warna merahnya adalah
api, diciptakan supaya para raksasa es tak dapat menyeberang ke sorga. Warna
birunya adalah udara dan warna hijaunya adalah air. Ketiga warna itu berpendar
dan berkobar menjembatani sorga dan bumi.
“Kita
menuju entah,” kataku.
“Asalkan
kita tidak dibawa ke Niflheim saja! Hahaha!” seloroh Magnus. Aku kurang paham
letak kelucuan candaannya. Ia pikir aku turut mengenal nama-nama asing yang
disebutkannya sejak tadi: Æsir, Urd, Himinbjörg, Niflheim, Muspelheim, dan
banyak nama lain yang mudah kulupakan.
Aku
khusyuk memandangi planet-planet dan bintang-bintang bertaburan di angkasa
hitam. Magnus, yang merasa paling paham mengenai konsep kosmogoni bangsanya,
menjelaskan padaku perihal benda-benda langit itu. Menurut dia: akar-akar dan
ranting-ranting dari pohon semesta Yggdrasil bertambah banyak berlipat-lipat
ganda, menghubungkan berbagai dunia baru di celah Ginnunga, hamparan luas
kehampaan. Magnus memercayai keberadaan Yggdrasil; pohon ash mahabesar yang
menjadi pusat kosmos, pokok sembilan dunia. Ah, teorinya akan sangat fantastis
untuk menjadi dongeng anak-anak.
Di
kursi seberang aku berkenalan dengan James Buchanan. Ia memintaku memanggilnya
Bucky. Ia masih sangat belia dan senyumnya masih sepolos kuntum daffodil. Kedua
matanya pun nampak terlalu jernih untuk merasakan kesedihan akan kematian.
Bucky mengenakan seragam khaki tamtama Amerika Serikat—ini yang membuatku tak
segan menyapanya. Ia seorang prajurit yang tewas dalam ledakan ketika hendak
menjinakkan bom dalam pesawat di pangkalan angkatan darat European Theater of
Operations. Kejadian itu berlangsung pada masa perang yang juga kualami—Perang
Dunia Kedua.
“Bumi
kita mungkin sama, tapi aku berasal dari kemungkinan yang lain,” kata Bucky.
Tak tergurat kesedihan pada parasnya. Bisa jadi aku menilainya terlalu dini.
Dari
barisan seberang depan, ia berpindah kursi ke samping kiriku. Aku kemudian
menjabat tangannya. Kami dibatasi oleh jalur pejalan. Kami banyak bercerita
tentang Perang Dunia Kedua yang kami alami. Bucky juga berkisah tentang sahabat
karibnya, seorang pahlawan perang yang menyembunyikan identitasnya dan
bertarung tanpa peluru mengalahkan pasukan Jerman. Aku pun memperkenalkan Bucky
pada Magnus yang tak memahami pistol dan peluru. Ia juga tidak mengenal Nazi
dan Adolf Hitler. Kami bertiga berasal dari semesta yang berbeda—aku dan Bucky
berasal dari tempat yang agak berdekatan. Magnus lebih bangga bercerita tentang
pertempurannya melawan naga bersisik perunggu di perjalanannya menuju Islandia.
Peperangan dan pertempuran akan menjadi bahan cerita yang menggairahkan, ketika
semua itu sudah berlalu dan luka-luka kami telah sembuh.
“James
Buchanan.” Sekonyong-konyong terdengar suara berdengung memotong pembicaraan
kami. Sesosok makhluk yang tak jelas perempuan atau lelaki, hitam legam dan
tinggi besar, berjalan tegak menghampiri kami. Wajahnya tersimpan dalam
bayang-bayang pekat.
“Ada
apa, Azrael?” sahut Bucky.
“Ikutlah
denganku. Ada yang telah mendobrak takdir dan menyambung usiamu.” Suara Azrael
terdengar begitu tak manusiawi, serupa dengung lebah yang keras dan tegas.
Bunyi abstrak itu begitu masuk ke dalam benak tiap pendengarnya menjadi bahasa
yang dapat dimaknai.
“Aku
hidup kembali? Bagaimana mungkin?”
Azrael
mengangguk hening.
Aku
dan Magnus hanya menyaksikan keduanya dalam diam.
Bucky
bangkit berdiri. Ia melambaikan tangannya pada kami dan berjanji untuk tidak
melupakan kami. Azrael menuntunnya ke pintu gerbong di depan baris kursi
terdepan. Pintu itu membuka dan menampakkan laut lepas dan puing-puing pesawat.
Pemandangan di jendela pun berganti serupa. Bucky melangkah ke dalam ruang itu
dan kembali melebur bersama waktu. Azrael melenyap menjadi kepulan asap hitam.
Planet-planet dan bintang-bintang kembali bermunculan. Ingatanku beralih pada
peristiwa sebelum kematianku.
Omaha,
6 Juni 1944
Pagi
itu batas antara hidup dan mati begitu dekat dan sengit. Desau angin seolah tak
henti-henti merapalkan syair kematian. Dan tiap lesatan peluru mendaraskan
firasat buruk.
Langkah-langkah
serdadu berkecipak di pantai menyatu dengan letupan-letupan mesiu.
Lontaran-lontaran proyektil berdesing-desing seumpama puluhan kereta api
melintas di atas ubun-ubun. Pasir-pasir berloncatan dihunjam peluru-peluru
senapan mesin. Ombak-ombak berdebur membasuh tubuh-tubuh yang terkapar di batas
pantai. Pagar-pagar baja raksasa berdiri kokoh menjadi nisan bagi tiap jenazah.
Kayu-kayu runcing terpancang congkak menantang angin laut.
Sekian
orang terkapar, bersisa separuh tubuh—pinggul sampai telapak kaki mereka hancur
oleh ledakan ranjau. Sekian orang remuk kepalanya terhantam proyektil-proyektil
meriam. Sekian orang lainnya kehilangan satu atau sepasang lengan mereka yang
terputus oleh bermacam jebakan dan serangan tak terduga. Kucuran darah memerahkan
ombak-ombak yang menjilati pesisir. Banyak di antara kami yang pasrah menerima
peluru. Banyak di antara kami yang mau berhenti saja. Tapi, jika kami berhenti,
kekacauan ini tak akan berhenti.
Jerit
kesakitan dan kumandang perintah timbul tenggelam dalam kur kematian. Demikian
pula petikan-petikan mazmur dan caci maki. Tak ada yang mampu kudengar jelas di
ambang hidup dan mati. Derit pintu kematian tak kalah berisik daripada riuh
kehidupan.
Aku
mengendap di undakan pasir kering berkerikil dekat sebuah meriam Howitzer.
Sengitnya baku tembak menyempitkan luasnya medan. Kawan-kawan sereguku memencar
ke arah yang tak kuketahui dan mungkin juga mereka sudah mati. Selebihnya aku
hanya membidik ke depan bersama regu yang tak kukenal. Peluh mengucur di wajah
dan sekujur badanku. Ada lonjakan panas tak wajar yang membersit dalam badanku.
Di saat yang kurang tepat, aku memikirkan Peggy dan ayah-ibuku. Sungguh
menggelikan. Batinku malah cengeng di saat yang tak pantas. Aku masih belum
boleh pulang!
Kelengahanku
membikin perutku terserempet peluru. Aku terjatuh dan seragamku tercabik-cabik
kawat berduri. Aku terjerat dalam semak kawat itu. Sementara senapanku
terlempar ke pasir dan tak mampu kuraih. Bunyi berdesing-desing
sekonyong-konyong mengalir deras tepat di atas kepalaku. Aku berguling ke balik
tumpukan karung pasir dalam keadaan masih terjerat. Aku terpaksa menahan perih
tertusuk kawat untuk berlindung sementara.
Things are really fucked up!
Perutku
tertancap sejumlah duri dan berlumuran darah. Aku mencabuti duri-duri itu
secepatnya untuk menyingkat perih. Namun, perih tak secepat itu meninggalkanku.
Dan tahu-tahu aku sudah sendirian di antara pertempuran yang berlangsung. Aku
memandang ke arah pantai yang melengkung. Tank-tank amphibi berdatangan.
Sejumlah pesawat dan kapal sekutu masih sibuk meledakkan pantai untuk membuat
lubang-lubang perlindungan.
Saat
suasana kurasa cukup memungkinkan, aku memutuskan untuk memanjat tebing pendek
di hadapanku menuju tembok besar di atas bebatuan itu. Penembak senapan mesin
di balik tembok itu tengah keasyikan menembaki prajurit-prajurit di pinggir
pantai. Aku berjaga-jaga membidik ke kiri-kanan. Tahu-tahu seregu prajurit
berseru: “FIRE IN THE HOLE!”
Aku
secara refleks berlari dan melompat ke area yang kosong. Ledakkan besar merontokkan
sehamparan pasir berkerikil di atasku. Ledakkan itu berasal dari susunan
pipa-pipa hijau yang lekas kusadari adalah rangkaian pelontar torpedo
Bangalore.
“Dasar
tolol! Kau bisa mati konyol!” seru prajurit dari balik undakan pasir yang lebih
rendah dari posisiku. Ia berniat membersihkan daerah di atasku itu.
Aku
yang lengah kini berada di posisi yang berbahaya. Di atas bekas ledakan torpedo
Bangalore, penembak Jerman sudah membidik tepat ke kepalaku. Aku bersiaga di
luar kesadaranku untuk menembak balik. Tetapi kecepatan telah sirna. Ketika kau
akan mati, kau akan merasakan kematianmu begitu perlahan.
Peluru-peluru
tampak membeku di udara. Di ambang kematian seperti ini, takdir membiarkan kita
untuk melihat sekeliling dalam kejernihan. Aku pun menyadari tubuhku tak lagi
berharga. Pikiranku seolah tahu persis apa yang mesti kuperbuat. Aku berlari
dalam kecepatan yang tak terhitung lagi oleh waktu. Aku menghadang
peluru-peluru yang mengambang beku di udara itu dengan tubuhku yang kelak
tertembus. Kuempaskan bogem ke arah serdadu Jerman yang menembakku. Sebagian
giginya terpelanting. Kuhunjamkan sebilah pisau panjang tepat pada jantungnya.
Aku bersimpuh di samping mayatnya dan aku mulai terisak meski akal sehatku
tidak mempersilakanku untuk bersedih. Dari sudut yang tak lagi kuwaspadai,
sebuah peluru tepat menembus keningku dan tubuhku terlempar dengan sendirinya
ke pasir berbatu.
Tubuhku
tak merasakan apa-apa lagi sesudahnya.
Sebuah
tangan nan hitam meraihku, membangkitkanku. Aku melihat sosoknya tanpa keterkejutan
yang berarti. Entah, rasanya firasatku sudah menduga akan hadirnya sosok itu.
Ia hitam—lebih pekat daripada bayang-bayang malam sekalipun—dan tinggi besar,
serta memiliki suara berdengung tegas bagaikan skuadron lebah. Ia Azrael, atau
Izrail, malaikat pencabut nyawa. Ia bagaikan aura hitam tak berbentuk.
Azrael
menggiringku pada sebuah lubang portal yang menganga lebar di antara medan
pertempuran. Di saat yang sama, lubang-lubang serupa tampak di sepanjang Omaha,
dan sosok-sosok Azrael berhamburan di sepanjang pantai, menggiring tiap serdadu
yang telah tumpas ke dalam lubang-lubang itu.
Di
balik lubang-lubang yang tampak bercahaya putih cerlang tampaklah sebuah
stasiun kereta api yang panjangnya mencapai cakrawala. Stasiun itu ramai oleh
orang-orang yang berkerumun mengantri pada tiap peron. Tiap petak lantai
memantulkan rupa di atasnya bagaikan cermin paling jernih. Pilar-pilar pemisah
peron menjulang tinggi sampai ke langit-langit yang berkubah-kubah. Pilar-pilar
putih mengilap itu tampak megah oleh cincin-cincin emas yang mengitarinya. Di
seluruh permukaan dinding stasiun tertambat jutaan jam tengah berdetak
menunjukkan waktu-waktu yang berbeda. Sebuah kereta perak dengan ribuan jendela
yang memantulkan langit cerah dari tingkap-tingkap kaca pada kubah telah siaga
menanti penumpang. Relnya adalah pelangi yang membara.
Azrael
membawaku pada satu gerbong di mana aku bertemu dengan beberapa orang yang
kurang lebih senasib. Mereka adalah pendekar-pendekar yang mangkat dari
berbagai sudut ruang dan waktu alam semesta. Ada seorang samurai muda yang
meninggal dalam pertempuran Sekigahara di Jepang. Ada seorang aktivis pembela
hak asasi dari Indonesia yang meninggal diracun di pesawat menuju Amsterdam. Di
sinilah aku berkenalan dengan Magnus, pria Viking yang terbunuh di sebuah
pertempuran di Paris. Gemetar aku ketika mendengar ia dibunuh kawannya sendiri
saat mencegah kawannya itu membunuh seorang pendeta. Akan tetapi, Magnus adalah
pria yang gembira dan bukan perompak bengis seperti dalam bayanganku tentang
orang-orang Viking. Kami berbincang dalam bahasa yang berbeda, tetapi
kematian—atau keabadian—telah meleburkan belenggu bahasa sehingga kami dapat
memahami satu sama lain. Magnus sempat cerewet sewaktu ia tak menemukan perahu
panjang yang dalam bayangannya akan mengantarnya menuju Asgard. Ia malah
menemukan sebuah kereta metalik yang panjangnya melebihi jarak pandang. Kereta
itu memiliki bagian dalam yang luas dengan dinding-dinding abu-abu keperakan
berguratkan puisi-puisi tentang asal-muasal alam semesta. Itu tulisan futhark,
kata Magnus memberi tahu jenis aksara geometris yang tergurat pada dinding.
Mirip lambang Waffen-SS, pasukan bersenjata Nazi, pikirku.
Tak
lama setelah aku duduk di salah satu kursi nan empuk berbordir pohon Yggdrasil
bersepuh emas, kereta pun melaju mengarungi pelangi. Sunyi tanpa gemuruh mesin
dan lengking siulan lokomotif. Magnus pun lantas bercerita panjang lebar
tentang mitos-mitos bangsanya, mulai dari kisah penciptaan raksasa pertama
sampai riwayat-riwayat para dewa. Aku menjadi pendengar yang baik (meski tak
selalu setia) sembari menekuni apa yang tengah terjadi dalam kematianku. Aku
terpikir tak sempat pulang untuk pamit. Aku memandang ke luar jendela yang
penuh dengan awan dan berucap dalam hati: mungkin hanya kerinduan yang tak
mampu kita tuntaskan dalam kematian. Sebab hidup memiliki kisahnya sendiri
untuk dituntaskan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar